Chapter 4 : Perpisahan

56 20 0
                                    

Ara membaca pesan Muti di buku harian. Tidak percaya dengan apa yang dibacanya, ia segera membuka HP untuk mencari video yang dimaksud Muti. Betapa terkejutnya, Ara merasa tertampar oleh tamparan yang jauh lebih keras dari semua tamparan yang pernah ia terima.

Dalam video itu, ia sendirian... Tidak ada kak Lio... Ia kebingungan, hatinya perih dan hancur berantakan. Ia merasa kehilangan sesuatu yang mulai disadari tidak pernah ia miliki. Video itu menjadi terlihat sangat menyeramkan, ia tidak sanggup menerima fakta bahwa ternyata ia satu-satunya manusia di ruang kamarnya. Ia berbicara sendiri dan menganiaya dirinya sendiri. Ia adalah korban sekaligus pelaku kekerasan. Kepalanya terasa sakit, napasnya tersengal-sengal, tangannya gemetaran.

"Kenapa... kak Lio tidak ada? Dimana dia... Kenapa aku sendirian? Apa yang sebenarnya terjadi... selama ini?", ucapnya lirih menahan tangis. Sesuatu terasa terenggut dari hatinya secara paksa hingga akhirnya ia tidak sanggup menahan air matanya. Ternyata kak Lio tidak pernah ada. Kak Lio, begitu pula dengan kak Devin, hanyalah halusinasi Ara semata. Ara sangat terpukul hingga tubuhnya terasa sepeti melayang, matanya redup, ia menghilang, pingsan.

Video yang memperlihatkan Ara bahwa kakak-kakaknya tidaklah nyata, tidak membuat mereka berhenti muncul di kehidupan Ara. Mengabaikan kehadiran mereka pun juga tidak sanggup Ara lakukan. Mereka terlihat, terdengar, dan terasa begitu nyata bagi Ara. Hati Ara sudah terlanjur jauh menyayangi mereka dengan amat tulus.

Saat Ara tersadar, waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Ara keluar kamar, duduk merenung di ruang tamu. Pelan-pelan memaksa diri menyadari bahwa adik Muti dan orangtua Muti yang telah tertidur pulas adalah adik dan orangtua kandungnya juga. Walau hati Ara merasa asing dengan mereka, ia berusaha meyakini bahwa ia adalah bagian dari keluarga itu. Mereka yang nyata terasa seperti halusinasi di hati Ara, dan kakak-kakak Ara yang halusinasi justru terasa seperti kenyataan bagi Ara.

Ara pelan-pelan mengumpulkan tekad untuk menyampaikan pada kakak-kakaknya bahwa hubungan mereka tidak boleh dilanjutkan lagi. Sebenarnya ia tidak yakin apakah ia akan dapat menjalaninya atau tidak, namun ia mulai sadar bahwa ia harus menghentikan hubungan yang tidak benar itu. Ia menunggu kak Lio pulang untuk mengatakannya.

Tidak lama kemudian suara motor berhenti di depan rumah, "Assalamualikum," ucap kak Lio sambil membuka pintu.

"Waalaikumsalam kak," jawab Ara pelan sambil menghampiri dan mencium tangan kak Lio.

"Kamu kok belum tidur? Kenapa di ruang tamu?" tanya kak Lio sambil meletakkan helm di meja dan melepas sarung tangan.

"Aku nunggu kakak, ada hal serius yang mau aku bicarain."

"Kenapa? Kamu bikin salah lagi?"

"Bukan, aku ga bikin salah apa-apa hari ini."

"Bukan gimana? Ini aja kamu udah salah, Jam berapa kaka wajibin kamu tidur? Jam 10. Sekarang jam berapa? Jam 11. Bandel kan kamu!"

"Kan udah aku bilang ada hal serius yang mau aku bicarain jadi aku nunggu kakak."

"Tuh kan keras kepala ngebantah terus, berapa kali kaka harus bilang kalo kaka ga suka dibantah? Simpan buat di bicarain besok, sekarang masuk kamar dan tidur atau kakak ngga bicara pakai mulut lagi!" Ucap kak Lio mulai meninggi dengan tatapan matannya yang menajam.

"Hei apasih ini, Lio! Cukup! Ini malem minggu, biarin sih toleransi dia tidur malem. Jangan marah-marah di depan gue apalagi ngancem main tangan!" Ucap kak Devin yang ternyata sedari tadi ada di luar menghabiskan sisa rokoknya sebelum masuk rumah.

Kak Lio terdiam, ia menuruti kak Devin. Selain karena berusaha menghormati kak Devin sebagai kakaknya, ia juga takut sebab secara fisik kak Devin lebih tinggi besar darinya. Ia hanya se-telinga kak Devin dan Ara hanya se-dada kak Devin. Otot-otot kak Devin juga jauh lebih besar dari milik kak Lio. Dalam taekwondo pun kak Devin selalu menang bertarung dari kak Lio.

Another Me in Another World (DID And Bipolar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang