Chapter 5 : Diary Ara

53 18 0
                                    

Pagi hari selepas mata terbuka dari tidur, Muti lekas membuka buku harian. Menemukan banyak catatan Ara tentang apa yang terjadi semalam. Muti turut sedih atas perpisahan yang Ara hadapi tapi juga bahagia karena Ara akan berhenti berhalusinasi, semudah itu pikirnya. Ada catatan dari Ara untuk Muti.

Sabtu, 31 Oktober 2009

Dear Muti... Aku tahu tentang kamu dan kehidupan kamu. Aku membaca seluruh buku harianmu sejak dulu. Namun, siapa pemilik sesungguhnya dari tubuh ini, jujur aku pun merasa aku lah pemiliknya. Kamu terasa seperti khayalan bagiku.

Terimakasih telah memintaku melihat video itu. Fakta bahwa kakak-kakakku tidaklah nyata sangat menyakitiku. Tapi setidaknya aku terselamatkan dari kemungkinan menjadi gila. Aku sadar, kita tidak boleh mengorbankan masa depan kita. Masih ada harapan kan? Aku akan bisa lepas dari bayang-bayang mereka kan? Walau entah apakah akan semudah yang ku pikirkan...

Muti menarik napas lega karena Ara ternyata masih memikirkan masa depan. Namun, ia tetap tidak menyukai keberadaan Ara. Ia ingin Ara lenyap dari dalam dirinya, sebab semua keanehan tentang Ara membuatnya merasa tidak waras. Diabaikannya pesan dan pertanyaan Ara lalu bergegas pergi ke tempat latihan Taekwondo.

Keesokan harinya di sepanjang pelajaran sekolah, bayang-bayang tentang kak Lio dan Kak Devin berlintasan di pikiran Muti. Membuatnya merasa benar-benar akan menjadi gila. Ia tidak memiliki ikatan emosional apapun dengan kakak-kakaknya Ara, semua bayangan yang muncul hanya seperti kelebatan cuplikan film di pikirannya. Namun tetap saja semua sangat mengganggu. Ia terus melawan bayang itu sekuat yang ia mampu, tetapi tindakan tersebut membuat kepalanya sangat sakit dan gelisah luar biasa. Ia dipenuhi ketakutan akan bayangan masa depan yang berakhir di RSJ atau berakhir di jalanan seperti Mas Beni.

Satu minggu berlalu dengan penuh perjuangan batin tanpa pernah Muti buka buku hariannya. Hingga kepenasaran menyelimuti ruang hati, dibukalah kembali buku harian itu.

Minggu, 01 November 2009

Jiwa yang terpuruk ini ingin kebebasan. Malam ini, aku berharap, aku ingin terlelap, agar bayang dalam benakku segera musnah. Aku ingin terpejam, agar sakit yang ku rasa segera hilang.

Malam itu aku telah melepaskan, semuanya telah pergi. Aku ikhlas, aku rela. Sebab ku tak mau membunuh kehidupanku. Aku tak mau menghancurkan masa depanku. Demi keluargaku yang sesungguhnya, ini akan bisa ku tinggalkan. Aku akan jadikan malam itu sebagai tangisanku yang terakhir.

Nafas demi nafas yang ku hembuskan dalam mencari ketenangan, sungguh aku tak karuan. Rasa yang tak menentu selimuti aku atas segalanya.

Senin, 02 November 2009

Ditengah malah ini, sepi,
aku hampa dalam ketakutan.
Jiwa ku terjebak dalam bayang-bayang.
Petir itu, suaranya tak henti,
mengisi malam sunyi ini.
Terus menggelegar, temani aku,
di setiap rasa tak menentu.
Kalut memang saat harus melepaskan,
tapi ini yang harus ku lakukan.
Demi kehidupan di masa depan,
tak mungkin ku korbankan.
Aku percaya Tuhan, aku bisa!!!
Dan aku percaya Tuhan,
hanya Kau yang paling mengerti aku,
tiada yang lain.

Sabtu, 07 November 2009

Dear Muti... Aku tidak sanggup lagi. Bayang Kak Lio dan Kak Devin tetap bermunculan dan tetap terasa nyata. Fakta bahwa mereka hanya halusinasi tidak membuat mereka musnah begitu saja. Mereka mencoba mengajak ku berbicara lagi, mereka mengatakan merindukanku dan tidak bisa melepaskanku. Mengabaikan kehadiran mereka sungguh menyiksaku.

Kamu mungkin meremehkan patahnya perasaanku ini. Tapi coba bayangkan, jika orang tua dan adikmu yang selama ini hidup bersamamu ternyata tidak pernah ada, mereka tidak nyata, bagaimana perasaanmu? Kehilangan sesuatu bukan karena mereka mati, tapi karena mereka tidak pernah terlahir... Dan setelah kamu tahu kenyataan bahwa mereka hanya halusinasi, mereka tetap menghantuimu, bermunculan di dekatmu sambil mengajakmu berbicara, mereka ingin menuntunmu pada kegilaan. Bisa kamu bayangkan betapa rasanya ingin mati saja?

Memang, kak Lio sering kasar kepadaku. Tapi dia juga punya sisi baik dimataku. Dia sangat perhatian, sering membelikan ku coklat dan makanan lain yang ku suka, ia berusaha membimbingku agar menjadi disiplin dan menjadi yang terbaik. Namun caranya terlalu keras, itu saja. Sedangkan kak Devin, sangat lembut dan memanjakanku. Ia sosok pria sempurna, mungkin setelah ayahku, entahlah. Sejak kecil aku hanya memiliki mereka, aku tidak merasa memiliki orangtua, yang ada hanyalah orangtuamu.

Dengan semua rasa sayangku kepada kedua kakakku, melawan kehadiran mereka membuat kepalaku sangat sakit, hatiku tersayat perih, dan aku tidak bisa tidur hingga tengah malam. Aku sering menangis akibat kegelisahan luar biasa yang muncul saat mengabaikan mereka. Semua itu membuatku ingin menyerah pada hidup.

Sore tadi ku cari pisau di dapur, ku genggam erat dan ku letakkan di atas nadi tanganku. Tapi nyaliku ternyata belum cukup besar, aku masih takut terhdap rasa sakit. Aku ingin mati tanpa kesakitan. Bisakah kau temukan cara yang nyaman untukku atau bisakah kau saja yang membunuhku?

-Ara-

Ketakutan menyeruak dalam diri Muti hingga membuat dadanya sesak. Bagaimana jika Ara mencoba bunuh diri lagi dan berhasil? Artinya aku juga akan mati, benak Muti. Muti terpikir apakah ini waktunya bicara dengan orang tuanya. Namun, ia masih ragu karena khawatir orang tuanya sedih.

Another Me in Another World (DID And Bipolar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang