Jarak rumahnya ke sini pun sangatlah jauh. Dia juga tidak memakai kendaraan pribadi, hanya mengandalkan transfortasi umum, ojek online dan juga beberapa tawaran tebengan dari sebagian guru yang sejalur dengannya. Tak berbeda jauh dengan saya –bedanya saya lebih kemanja sedangkan bu Tia adalah figure seorang guru yang strong woman. Bu Tia bertahan di sekolah ini adalah karena pertemanannya dengan bu Isma Kadarsih. Mereka berteman sejak di bangku kuliah dan selalu saling membantu. Katanya, jasa bu Isma sangat banyak padanya dan bu Isma adalah teman terdekatnya. Wajar saja.
Saya turut bahagia melihat pertemanan yang lengket sampai usia tua. Begitu jarang, bukan? Sudah usia lanjut, terkadang teman tidak ada sama sekali, yang ada hanyalah suami, anak dan kerabat. Dulu yang sering hura-hura pun terasa ditelan bumi karena beragam alasan, baik berpindah tempat, sibuk dengan pekerjaan ataupun memang karena sudah tidak saling adanya kebutuhan dan akhirnya menghilang tanpa kabar pun bukanlah suatu hal yang menyakitkan. Lumrahnya sudah memang akan seperti itu.
Masing-masing dari mereka akan bertemu orang-orang baru dan melupakan orang-orang lama. Itu sudah biasa terjadi dan memang alur kehidupan tiap orang seringkali seperti itulah adanya. Punya teman yang selalu ada sampai maut memisahkan adalah berkah tersendiri dari Sang Maha Kuasa. Semoga saja teman-teman saya juga masih bisa menjaga silaturahmi dengan baik. Tidak saling melupakan. Teman sedikit, itu-itu saja ... tak apa, yang penting berkualitas.
Pas saya baru saja akan ke luar, sudah berdiri dari posisi duduk saya tadi. Saya tercengang, bu Tia dan beberapa rekan juga nampaknya susah memberikan respon seperti biasa. Hanya pak Guntur yang bisa mencairkan suasana saat pak Hasyim baru saja datang.
"Eh, Pak," sapanya, "telat. Tidak biasanya. Macet, ya?" tanya pak Guntur sambil berdiri memasukkan lengan kirinya ke saku celana dan lengan kanan memegang gelas kopinya. Menampakkan senyuman khasnya yang selalu berenergi setiap hari. Kerut di mata, dengan janggut secuilnya menjadi ciri khas pak Guntur. Guru yang saya tahu adalah orang yang paling baik dan paling dewasa di sini. Dia selalu bisa bersikap professional dengan siapa pun.
Seraya tersenyum pada semua guru yang ada di kantor dan melepas tas ranselnya, pak Hasyim juga berkata sambil membuka rel sleting jaket yang dia kenakan.
"Iya Pak, duh! Macet parah, ditambah berangkatnya tadi agak siang," balasnya seperti biasa. Tapi kecanggungan di wajah rekan-rekan kerja saya tidak bisa dielak lagi. Setelah melihat pak Hasyim melepaskan jaketnya, saya juga sudah tidak tahu apa obrolan mereka. Sekarang saya sudah setengah jalan, dan hampir dekat menuju kelas yang akan saya ajar. Kali ini, bukan kelasnya Indah melainkan saya mengajar di kelas IX Mts.
Di kelas ini juga, saya mendengar kabar tidak mengenakkan lagi dari sosok pak Hasyim. Menurut versi mereka, katanya pak Hasyim pernah sengaja tidur di paha salah satu siswi dan dia juga pernah menyentil tali Bra/Beha salah satu siswi lainnya juga. Astagfirullah, seketika saya pun langsung beristigfar.
Jika berita tentang pak Hasyim dengan Indah belum tersebar, mungkin saya tidak percaya dengan ucapan mereka. Tapi sekarang, sangat sulit untuk saya menutup kuping dari semua fakta yang menyudutkannya. Saya hanya tidak habis pikir saja. Dan anehnya, kenapa saya jadi kepikiran sama mas Rifki? Emch, jadi ngawur ke mana-mana.
Padahal juga, saya tidak memancing obrolan ke arah gossip pak Hasyim. Anak-anak yang mulai duluan. Kebiasaan suka bercerita sama saya jadinya bibir mereka gatal untuk mengutarakan gossip yang tengah hangat diperbincangkan. Katanya, bu Isma menggali informasi tentang pak Hasyim ke semua kelas. Bagaimana gelagat pak Hasyim saat mengajar. Dan, hal baru yang mencengangkan adalah soal aduan baru dari siswi yang katanya pernah dilecehkan oleh pak Hasyim.
Tidak sampai menyetubuhi, katanya pak Hasyim pernah mau nyosor nyium dia dan sekarang sang siswi ngadu bawa orang tuanya. Si orang tua nuntut pihak sekolah untuk bertindak dan mengeluarkan pak Hasyim dari sekolah. Aduh, jadinya gerah sendiri mendengar fakta-fakta sosok pak Hasyim. Apa mas Rifki memang sudah tahu ya, kalau karakter pak Hasyim begitu? Setahu saya mas Rifki memang jarang membicarakan orang lain. Pada saya, istrinya pun dia enggan. Itulah mas Rifki. Makanya, sungguh mustahil juga dia selingkuh dari saya. Kepribadiannya yang baik, tidak memperlihatkan benjol ke arah sana.
***
Sepulang dari sekolah, saya pun dikejutkan dengan kehadiran ibu yang sudah ada di rumah. Kak Nada juga mampir dulu untuk berbincang-bincang. Kali ini, keponakkan saya—Nindi yang baru saja masuk kuliah di tahun ini pun juga ikut.
Nindi sama Ibu lagi asyik di ruang tengah. Saya dan kak Nada di dapur, beresin sisa bekas makan bareng tadi. Semuanya barang yang perlu dibereskan hampir disikat habis oleh kak Nada seorang diri, begitulah kakak saya, sukanya beberes rumah. Sekarang saya lagi memasukkan buah yang sudah saya ambil dari kulkas ke wadah, dan nanti disuguhin buat Nindi sama buat Ibu juga.
Jarang-jarang juga dia ikut main ke sini. Maklum, anak gadis yang sudah mau beranjak dewasa biasanya memang sulit untuk main ke rumah saudaranya, masa-masa happy-happy sama teman sejawatnya, dan memang suka pas-pasan begitu. Setiap kali kak Nada berkunjung, dia pasti sedang ada jadwal main sama temannya dan kadang kedatangan temannya yang sedang berkunjung ke rumah. Namun, meskipun begitu ... alhamdulillahnya keponakan-keponakan saya pada bisa menjaga diri. Jarang terdengar mereka nakal, atau bikin jengkel orang tuanya. Meskipun jengkel, paling hal-hal lumrah saja sih. Semisal beda pendapat sama orang tua, pengen ini dan itu, beda pandangan soal posisi barang di kamar dan sebagainya.
"Met," panggil kak Nada sambil masih sibuk mencuci piring.
"Mmmm?" balas saya hanya menggeram dan menoleh padanya.
Kak Nada kemudian mematikan keran air. "Sekarang lagi banyak ya, kasus guru yang diam-diam selingkuh sama muridnya. Seperti pak Hasyim itu," katanya. Dia tahu karena sekolah tempat saya mengajar memang tak jauh dari rumah kak Nada. Tuh, benerkan. Gossip-nya mulai menyebar, eh ... lebih tepatnya sudah menyebar.
Saya pun hanya tersenyum. "Iya, Kak. Meta juga awalnya enggak nyangka."
Kak Nada kemudian menaruh piring terakhir yang sudah dia cuci ke tempat piring yang berada di samping wastafel. Tempat piring khusus pengeringan, biar nanti pas dimasukkin ke rak, piringnya sudah kering.
"Temen-temen kakak juga suaminya banyak yang pada puber kedua," katanya, "miris." Kak Nada sampai bergidik membicarakannya.
Saya yang sudah tahu maksud kak Nada ke mana, pun hanya tersenyum saja dan akan segera bergegas ke ruang tengah. Tapi, kak Nada lanjut bicara, "gimana suamimu? Sudah jam segini juga belum pulang, tuh." Kak Nada bertanya soal mas Rifki.
"Tadi mas Rifki bilang katanya ada urusan dulu, pulang telat," jawab saya jujur.
"Enggak bilang urusannya apa?" Kak Nada seperti mata-mata yang sedang mengintrogasi saya selaku orang yang berkaitan dengan orang yang dicurigainya.
Saya pung menjawab sambil menggeleng. "Enggak. Biasa, paling bisnis."
Kak Nada tersenyum masam dan melangkah duluan meninggalkan saya setelah dia mengelap tangannya tadi. "Hati-hati, pelakor ada di mana-mana. Kakak hanya ngingetin aja, pak Hasyim buktinya. Guru baik, kan dia di sekolah? Agamanya katanya juga bagus. Tapi kan, faktanya? Kita tidak bisa percaya begitu saja. Kakak bukan hasut kamu untuk su'udzon sama suami. Tapi, coba buka telinga sama mata kamu lebar-lebar! Hati-hati."
Saya yang membuntuti kak Nada di belakang pun hanya diam saja. Ucapan kak Nada hari ini membuat saya ragu. Antara percaya dengan kekhawatiran kak Nada, atau saya tidak memedulikannya dan tetap percaya kalau mas Rifki tidak akan seperti apa yang kak Nada takutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saat Cinta Berpaling
RomanceBerkisah tentang seorang Meta Antaliza yang dinikahi oleh gurunya sendiri setelah lulus SMA. Guru muda nan baik itu bernama Muhammad Rifki, dia sangat baik sekali. Rifki memperlakukan Meta bak seorang Ratu satu-satunya yang sangat ia cintai. Meta ya...