10. Kelakuan Faiz dan Nindi

39 0 0
                                    

Saya pun, sebenarnya tidak terlalu ikut campur mengenai bisnis yang sedang mas Rifki geluti. Katanya, mas Rifki banyak mencoba hal-hal baru semisal menanam saham, ikut jualan produk makanan, dan terakhir ini dia sedang ikut terjun dengan usaha konveksi. Dia sibuk beli barang ini dan itu. Tapi saya tidak ingin ikut campur banyak selama dia tidak membincangkannya dengan saya dan selama ini mas Rifki sepertinya juga tidak butuh pendapat saya yang sama sekali tidak mengerti soal bisnis. Lagi pula, saya memang tidak bisa banyak membantu dan lebih tepatnya tidak terlalu penasaran. Saya percaya pada mas Rifki, walaupun kepercayaan itu sekarang mulai goyah.

"Faiz, udah pulang? Kok mama enggak denger kamu ucap salam?" tanya saya saat Faiz menyalami tangan ibunya ini. Tadi, dia tengah sibuk bercanda dengan Nindi. Mereka memang suka jahil satu sama lain, makanya saat bertemu lagi pun sudah pasti saling melempar lelucon sindiran.

"Ucap salam kok Ma. Mamanya tadi kan di dapur, jadi enggak denger. Lagi ngegossip sama Wa Nada, kan?" Faiz menuduh sembari tersenyum. Saya, kak Nada, dan Ibu pun jadi sama-sama tersenyum karenanya.


PLUKKK!

Nindi memukul sebelah bahu Faiz. "Ayo! Mana tunjukkin ke aku?" Nindi seperti menagih sesuatu dari Faiz. Saya pun duduk di samping ibu. Tidak mengerti dengan apa yang tengah mereka bahas.

Faiz mendengus. "Bentar. Di kamar, ayo ikut!" katanya sambil berjalan menuju tangga.

Nindi pun melenggang bersama Faiz ke lantai atas. Kak Nada menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah anak keduanya—Nada yang masih seperti anak kecil, apalagi setiap bertemu dengan Faiz.

"Iz," panggil saya sesudah dia dan Nada setengah jalan menaiki tangga. Nada yang berjalan sambil fokus melihat hanphone-nya pun juga menoleh.

"Apa, Ma?" tanyanya.

Seraya mengambil pisang, saya pun berucap, "Ayah belum pulang, kamu jemput Imah ya."

Nindi dan Faiz saling tatap. Nindi dengan mata beloknya seperti mengiyakan, dan Faiz terlihat menurut. Mereka juga terlihat bisik-bisik, entah ngomongin apa. Pastinya itu bersifat rahasia, kalau enggak rahasia mereka tidak akan seperti itu. Mereka berusaha menyembunyikannya dari orang dewasa.

"Iya, Ma. Nanti Faiz jemput Imah. Faiz ganti baju dulu." Mereka berdua pun pergi.

"Nindi, kamu mau ikut ke kamar Faiz? Dia mau ganti baju, yang bener saja kamu." Kak Nada berteriak sambil terkekeh-kekeh.

Faiz dan Nindi sudah lenyap dari pandangan. Namun, suara Nindi masih terdengar karena dia menjawab ibunya setengah berteriak. "Ah, Mama ngawur," katanya.

Selang lima belas menitan Faiz dan Nindi pergi menjemput Imah, mas Rifki pulang. Saya mengekor mas Rifki ke kamar.

Saya tutup pintu kamar. Mas Rifki yang sudah masuk duluan terlihat sedang membuka bajunya. Dia sepertinya akan bersegera untuk mandi.

"Tadi mama, sama Ibu dan kak Nada udah masak, udah makan juga. Kenapa pulang telat lagi, Mas? Udah makan belum?" tanya saya dengan suara pelan. Melihat raut wajah mas Rifki saat ini sepertinya dia tidak terlihat baik-baik saja.

Mas Rifki terdiam, setengah melamun. "Mas udah makan tadi di warung kopi sama temen-temen," balasnya datar. Dia tidak menjawab alasan datang telat kenapa.

Warung kopi? Makan? Tidak biasanya mas Rifki makan di pinggir jalan sambil ngopi-ngopi juga. Tapi, rasanya tidak adil jika saya beranggapan itu sebagai pertanda kalau mas Rifki memang sudah berubah.

Saya pun duduk di samping mas Rifki. Memegang keningnya. Namun, reaksi mas Rifki kali ini berbeda, dia kaget. Dia bahkan menatap saya dengan sorot mata tudingan yang belotot.

"Mas kenapa?" tanya saya heran.

Mas Rifki terlihat menelan ludahnya. "Enggak kenapa-kenapa, kamu yang aneh. Mas bukan anak kecil, enggak perlu dipegang kening juga," katanya sambil berlalu masuk ke kamar mandi.

"Mas Rifki kenapa?" gumam saya dengan suara pelan. Mas Rifki terlihat canggung, padahal saya istrinya sendiri. Dulu juga memang saya terbiasa menyentuh keningnya. Tapi, reaksi yang mas Rifki tunjukkan tadi amatlah berbeda. Saya pun semakin ragu dengan kata-kata kak Nada.

Saya tidak menunggu mas Rifki selesai mandi. Tidak ingin berlama-lama di dalam kamar, saya pun kembali berkumpul bersama Ibu dan kak Nada. Baru saja bokong saya duduk, suara klakson motor terdengar di luar. Suara rame Imah, dan Faiz yang bertengkar pun sampai terdengar ke dalam.

Kami menoleh ke arah sumber suara. Pintu terbuka, dan Imah tampak cemberut dan tiba-tiba menangis. Nindi dan Faiz yang datang di belakangnya malah terlihat menahan senyum mereka.

"Mama," teriak Imah mengadu pada saya langsung duduk di pangkuan.

Ibu melotot pada dua remaja yang bersama Imah itu. Satu baru puber, yang satu mungkin setengah matang. Lagi menjajali masa-masanya kasmaran.

Nindi masih cekikikkan entah kenapa.

"Kenapa si Imah datang-datang mewek begitu? Tanggung jawab!" Ibu memarahi mereka. Tapi saya tahu kalau Ibu hanya bercanda. Ibu bukan sosok orang yang pemarah, Ayah-lah yang lebih dominan tegas semasa dia ada.

"Bukan Nindi, Omah. Tuh, si Faiz yang jahil," tuding Nindi masih tertawa. Kak Nada pun menimpuk bahu anaknya—Nindi, yang berlindung di sampingnya.

"Faiz." Saya belototi Faiz agar dia mau berbicara.

"Imah tadi mau martabak, Ma. Deket sekolahnya itu," jawab Faiz. Dia masih berdiri dan menggaruk-garuk belakang kepalanya. Entah ada kutu atau memang menggaruk kepala hanya karena gerogi.

"Terus?" tanya saya dengan penuh penghakiman. Imah yang masih menangis pun semakin menjadi-jadi.

"Ya ... Faiz enggak mau nunggu lama karena kak Nindi bilang terlalu sore. Dia mau pulang katanya." Faiz menjelaskan. Sorotan mata kami pun tertuju pada Nindi.

Nindi terkekeh. "Hehe. Nindi cuman takut Mama udah pulang, kan kata Mama kita pulang jam 5 sore. Bener, kan?" Nindi dan kak Nada saling menatap satu sama lain. Sang anak terlihat ketakutan karena takut disalahkan dan sang Ibu melotot.

"Iya, tadi mama bilang gituh. Tapi kan kalau mau jajan ya sok aja," kata kak Nada. Masih melotot pada anaknya meskipun Nindi sudah memeluk dia tanda meminta ampun. Saya hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka yang selalu terkesan kocak.

Ibu pun menjewer telinga Nindi. "Ini apa?" Tunjuknya pada jajanan Nindi dan Faiz. "Kalian juga jajan, tapi Imah?"

"Imah udah ditawarin Omah. Tapi dia kekeh pengen martabak yang di sekolah." Faiz mulai tampak kesal.

"Faiz." Saya pun kembali menegurnya. "Kenapa enggak balik lagi ke sekolah?" tanya saya. Faiz dan Nindi diam.

Kami masih mempertanyakan dua anak remaja itu dan Imah tidak henti-hentinya menangis sampai mas Rifki datang dari arah dapur. Dia tadi lagi makan. Saya menawarinya untuk ditemanin. Sebagai istri yang baik, walaupun saya sudah makan tapi menemani dia makan juga tidak masalah. Mas Rifki sepertinya lapar, walaupun tadi dia bilang sudah makan. Akan tetapi, sayangnya mas Rifki menolak tawaran saya. Katanya dia tidak enak sama kak Nada yang datang bertamu.

"Eh, Imah kenapa lagi?" tanya mas Rifki terkesan menggoda Imah. Sang anak kesayangan yang tadi memeluk ibunya sambil sesenggukkan pun langsung mengadu pada Ayahnya.

Saat Cinta BerpalingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang