8. Semudah Ini Luluh Olehnya

40 0 0
                                    

TOK! TOK! TOK!

Saya segera menyeka air mata saya agar orang yang mengetuk pintu itu tidak melihatnya. Orang yang telah membuat hati saya terluka akhir-akhir ini. Dia, tidak lain adalah mas Rifki—suami saya sendiri.

"Ma? Udah tidur belum? Kok pintunya dikunci? Mas mau masuk, bukain dong Ma," katanya terdengar lembut.


Ya Alloh, hati saya masih sakit. Belum jelas apa yang sudah saya lihat dan dengar tadi, sekarang mengapa tiba-tiba mas Rifki berkunjung ke kamar selarut ini? Bukankah sungguh aneh? Tapi, saya tidak ingin banyak menduga-duga. Takutnya saya su'udzon pada suami sendiri. Saya pun menguatkan hati saya, mematikan memori ingatan yang sedang saya putar tadi. Mencoba berdiri dan melangkahkan kaki mendekati pintu.


Mulut saya belum berani menjawab lelaki itu. Tapi saya mampu untuk menggerakkan tangan saya, berniat untuk membukakan pintu untuknya. Paling-paling mas Rifki kelupaan sesuatu, semisal pulpen, notebook, ataupun beberapa buku maupun alat tulis lainnya dan biasanya memang saya tidak suka mengunci pintu kamar agar mas Rifki leluasa untuk keluar masuk. Apa dia akan curiga? Kalau dia tahu saya sudah menangis mungkin saya akan diserbu dengan beragam pertanyaan olehnya. Tapi, tunggu! Kenapa saya jadi takut? Jika benar mas Rifki selingkuh, seharusnya dia yang takut ketahuan oleh saya. Lah, saya? Saya harus berani. Ayo maju, Meta!


Dia suamimu, apa pun yang dia lakukan di belakang ... kamu harus tahu. Tidak boleh mas Rifki berbuat yang tidak-tidak dan mengkhianati pernikahan kalian, bukan? Tapi saya harap dugaan saya dan prasangka kak Nada salah. Mana mungkin mas Rifki berani melakukan dosa besar itu. Mana mungkin. Saya pun menggenggam erat gagang pintu dan bersiap membuka slot kunci.

Kemudian ....

"Kenapa dikunci? Tumben?" tanya mas Rifki tepat di hadapan saya setelah pintu terbuka. Saya ragu untuk menjawab. Ekspresi saya yang terkesan tidak jago berbohong mungkin bisa dengan mudah ditebak oleh mas Rifki saat ini.


"Ta-ta, ta-tadi mama ...." Saya kesulitan menjawab. Memutar otak mencari-cari alasan rupanya tak mudah. "Mama cuman kepengen aja dikunci. Ada apa Mas ke sini?" tanya saya kikuk dan tak sanggup menatap mata mas Rifki yang menyorot saat ini. Mas Rifki kemudian menutup pintu dan menggenggam tangan saya.


GREPPP!

Tangannya kali ini hangat.


Saya pun melongo melihatnya. Mas Rifki tersenyum. Sungguh aneh, kenapa dia?


"Mas mau tidur sama Mama malam ini. Mama lagi tidak datang bulan, kan?" tanyanya.


Sungguh mengagetkan. Jantung saya serasa copot. Tapi jujur, kenapa rasanya bibir ini tak kuasa untuk menahannya agar tidak mengembangkan senyuman pada mas Rifki. Terasa seperti bunga yang layu disiram kembali oleh sang Pemiliknya. Kenapa? Padahal saya seharusnya marah pada mas Rifki. Saya seharusnya mempertanyakan dia soal obrolannya dengan seorang perempuan di telepon tadi. Tapi, saya tak bisa. Saya menurutinya. Mas Rifki menggiring saya mendekati kasur kami dan ....


Kami kembali hanyut dalam nikmatnya hubungan rumah tangga.

Meskipun ini seharusnya menjadi sebuah pertanyaan. Apa mas Rifki takut? Atau mungkin saya terlalu berprasangka buruk padanya? Mana yang benar?


Ah sudahlah! Malam ini serasa pengantin baru. Sudah lama mas Rifki tidak seperti ini. Dia tampak kembali menjadi seorang suami yang sangat mampu membuat istrinya dimabuk asmara setiap hari. Dia selalu pandai menggoda istrinya. Mas Rifki.

Saat Cinta BerpalingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang