12. Curhat Lewat Telepon

73 1 0
                                    

Entahlah, saya tidak bisa berkomentar. Dalam permasalahan ini, Indah juga salah. Sia sudah berani masuk ke dalam hubungan rumah tangga orang lain, gurunya sendiri bahkan, dan mungkin ... pak Hasyim juga lebih salah.

Sebagai seorang guru, dia berani berselingkuh dan meniduri siswinya sendiri. Dia sudah berani berjinah. Tapi, kita tidak bisa bertanya-tanya pada status pak Hasyim sebagai seorang guru. Dia juga manusia.

Semua orang punya kemungkinan besar untuk melakukan kesalahan. Hanya saja, sungguh disayangkan. Semoga mereka bisa menyelesaikannya dengan cara baik-baik.

Hati saya berdoa penuh pengharapan. Ini adalah kejadian kali pertama yang cukup menghebohkan di sekolah selama saya mengajar di sini. Masih untung juga tidak viral ke media massa.

***

"Iz," panggil saya pada Faiz yang sibuk dengan pekerjaan rumahnya. Jarang-jarang sebenarnya dia mengerjakan PR di ruang tengah seperti sekarang.

"Iya, Ma?" tanyanya. Akan tetapi dia tidak menoleh. Matanya sibuk pada buku dan tangan kirinya tengah menulis. Faiz kidal. Tapi anehnya, jika makan dia tetap menggunakan tangan kanannya.

Saya pun mulai memberikan ceramah. Tidak begitu menegaskan. Tapi, di saat seperti ini saya rasa seorang anak akan lebih ingat. Saya selalu memilih waktu yang tepat jika ingin menasihati anak. Saya bercerita soal pak Hasyim lagi pada Faiz. Agar dia belajar dari kasus tersebut. Faiz angguk-angguk seperti paham. Lalu, saya sindir dengan halus.

"Terus, kamu jadi pacarannya, Iz?" tanya saya hanya sebatas bergurau saja.

Faiz langsung diam. Dia mendongak pada ibunya ini.

"Belum," jawabnya singkat dengan ekspresi datar.

Saya pun tersenyum lebar. Inginnya sih ketawa, tapi saya tahan agar Faiz tidak merasa tersinggung.

"Belum, berarti ada kemungkinan. Betul?"

"Ma!" rengek Faiz seperti anak perempuan.

Di tengah keseruan menggoda Faiz, si bungsu datang uring-uringan. Sepulang sekolah, Imah tertidur pulas. Katanya, sudah olahraga di sekolah jadi cape. Bangun-bangun jam segini. Jam empat sore.

"Mama, kenapa Ayah belum pulang?" Imah langsung memeluk. Terlihat kakaknya—Faiz menyipitkan mata pada sang adik. Saya tebak Faiz tidak suka melihat Imah merengek seperti itu.

"Kebiasaan," ledek Faiz.

Disindir seperti itu, membuat adiknya semakin menangis. Imah malah tambah rewel.

"Faiz ...," ucap saya menegur.

"Iy, Ma." Faiz ngangguk-ngangguk sadar diri.

Saya kira Imah ngelindur. Bisa-bisanya dia banggun-bangun terus nanyain mas Faiz.

"Kamu salat dulu. Belum salat asar, kan?" Saya mengingatkan.

Imah mengangguk sambil mengusap air matanya.

Saya pun kembali berucap, "Ayah pulang jam lima sore, sejam lagi. Salat dulu sana, gih! Nanti ditanya sama Ayah, kamu belum salat pasti Ayah merajuk."

Imah diam. Isak tangisnya hanya sisa. "Iya, Imah salat."

"Anak baik!" Saya usap puncak kepala Imah. "Sana!"

Imah pun pergi.

Selang satu menit, handphone saya yang di simpan di samping duduk, berbunyi.

"Siapa, Ma? Ayah?" tanya Faiz.

Saya pun menggeleng dan pergi menjauh dari Faiz. Berjalan menuju jendela dan berdiri di sana. Saya bisa mengintip keluar dari celah gorden. Handphone sudah saya dekatkan ke telinga.

"Assalamu'alaikum, Ibu?" Suara itu memanggil setelah mengucap salam.

Langsung saya jawab, "wa'alaikumsalam. Ada apa, Indah?" Ada perasaan yang sedikit tidak enak saat Indah menelepon.

Dia memang termasuk siswi yang dekat dengan saya. Tapi, jarang sekali dia menelepon mendadak seperti ini.

"Ibu ...," lirih suara Indah sangat jelas di telinga.

"Kenapa? Kamu mau cerita?" tebak saya, "cerita aja, jangan takut! Ibu mendengarkan." Refleks saya tersenyum. Terasa melihat Indah di hadapan saya.

Mata saya pun tertuju pada Faiz. Dia sudah menutup bukunya. Tandanya, dia sudah beres. Anak itu memang sungguh rajin. Faiz adalah kebanggan tersendiri. Di saat anak-anak lelaki seusianya main game, main bola, atau apa pun itu dunia per-lelakian. Faiz lebih anteng belajar. Main game dan main bola atau main sama temannya, dia sudah seperti punya jadwal tersendiri. Saya tidak tahu jelas kapan. Tapi saya paham, Faiz sangat teratur mengatur jadwal hidupnya. Syukurlah.

Faiz pun menaiki tangga sambil membawa bukunya. Sepertinya dia akan pergi ke kamarnya.

Indah terus saja terisak. Membuat hati saya jadi terbawa sedihnya, ikut merasakan. Rasa malu, sakit hati, pilu sendiri. Itu semua mungkin sedang ditanggung oleh Indah. Orang-orang seperti Indah ini sangat butuh sekali lingkungan yang supportif. Tidak mendiskriminasi kesalahannya.

Saya tahu, ketika masalahnya sudah terkuak seperti ini. Saya rasa Indah sudah sadar soal kesalahannya apa. Hukuman yang dia dapat dari tatapan orang-orang saja, saya kira sudah menampar keras diri Indah. Dia sepertinya banyak belajar.

"Indah sudah berdosa, Bu. Bagaimana Indah menebus dosa itu? Keluarga Indah menanggung malu atas perbuatan Indah. Ayah sama Ibu Indah terus saja bertengkar. Mereka saling menyalahkan." Indah masih terisak. Saya tahu kalau Indah adalah anak yang broken home. Ditambah kasus speerti ini, akan lebih menyakitkan bagi dirinya. Meskipun dirinyalah yang sepenuhnya salah. Meskipun semua karena akibat dari kedua orang tuanya yang egois, tetap saja Indah punya kendali penuh atas dirinya sendiri.


"Indah, dengarkan Ibu!" kata saya membuat penekanan agar dia menyimak baik-baik, "setiap manusia pastinya tak luput dari kesalahan. Kesalahan sudah berlalu, tidak bisa waktu ditarik ulur. Tidak bisa dihapus, apalagi diulang. Ibu tahu ini sangat berat. Ibu sangat tahu. Ibu tidak bisa banyak membantu kamu. Tapi Ibu akan siap mendengarkan curhatanmu, Indah. Ingat! Ketika kamu salah, sadarilah dan perbaiki. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Atur lagi semua yang sudah berantakkan, semua yang kamu rasa itu sudah hancur. Tidak boleh diabaikan. Berbenahlah! Meskipun tidak bisa balik ke kondisi awal, setidaknya kamu bisa membereskan semua kekacauan yang sudah terjadi. Bukan begitu, Indah? Tanggung jawab atas apa yang sudah kamu perbuat. Jangan menghindar, tapi jangan juga terus menghukum dirimu sendiri."

Tak ada suara. Saya rasa Indah terdiam. Tapi kemudian, isak tangisnya kembali terdengar.

"Terima kasih Ibu. Wejangan dari Ibu sangat membantu. Indah langsung plong. Apa lain kali Indah boleh kembali bercerita?" Indah terdengar sungkan.

Saya kembali tersenyum.

"Boleh banget. Jika Ibu sedang tidak sibuk, kamu boleh bercerita sepuasnya."

"Terima kasih lagi, Bu. Terima kasih. Indah tutup dulu panggilan teleponnya ya Bu."

Saya heran kenapa Indah tergesa-gesa. Apa karena memang dia sudah merasa cukup hanya dengan mendengarkanku bicara tadi? Oh, ya Allah. Saya mendadak seperti orang suci jika dipintai saran dengan pertanyaan ini. Saya hanya bisa berucap tapi saya juga masih lalai dalam bertindak. Saya juga manusia biasa. Hanya saja, saya berpikiran setidaknya saya bisa saling mengingatkan sesama di saat saya sedang logis seperti sekarang.

"Iya Indah. Semangat ya!" ucapan terakhir saya padanya.

Dia menjawab iya, dan terakhir mengucapkan salam. Saya pun juga membalasnya.

"Siapa?" Suara menggema terdengar sangat jelas di telinga.

Saya pun terkejut. "Astagfirullah, Ibu. Mengagetkan Meta aja." Jantung saya syok melihat wajah ibu yang begitu dekat. Terhanyut karena mendengarkan curhatan Indah, jadinya saya hilang konsentrasi dan bahkan tidak sadar kalau ibu menguping.

"Kamu habis teleponan sama siapa, Met?" tanya Ibu. Wajahnya sangat penasaran. Entah karena karena suara saya yang pelan sampai ibu tidak sepenuhnya dapat mendengarkan atau memang ibu baru saja datang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 05, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Saat Cinta BerpalingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang