3. Hamil di Luar Nikah

59 2 0
                                    


"Iya Bu, sayang sekali." Wajah saya mungkin menampakkan kegetiran yang sedang bersemayam di hati saya, Bu Astri mungkin juga begitu. Tapi, sekali lagi saya harus menyudahi obrolan ini dan bergegas masuk ke kelas sebelum Bu Astri menyambung lagi pembicaraan. Mulutnya sudah hampir terbuka, kemudian saya potong dengan pamit, "kalau begitu saya pamit dulu masuk ke kelas ya, Bu. Saya duluan."

Saya pegang gagang pintu, dan kemudian benar-benar masuk ke dalam kelas setelah Bu Astri juga pamit pergi menuju kelas dua belas IPA A.

"Assalamu'alaikum," salam saya ucapkan ketika masuk dan tak lupa sambil tersenyum dengan lebar, meski berita yang tadi barusan saya dengar begitu memekik tenggorokkan saya. Murid yang saya dan Bu Astri tadi bicarakan, dia ada di kelas ini.

Semuanya serempak menjawab, "wa'alaikumsalam, Bu."

Terdengar sama, selalu bergemuruh ketika masuk ke kelas ini. Tidak pernah mereka menjawab salam saya dengan suara pelan, dan suara yang paling keras pasti selalu berasal dari si Ramdani. Salah satu murid yang entah mengapa bisa masuk ke kelas A, katanya dia juga merasa aneh saat dia menjadi salah satu siswa yang masuk ke sepuluh besar di kelas sepuluh dulu. Dia juga bilang kalau keberuntungan masih bisa memihak siswa bandel seperti dirinya.

Tapi harus kuakui, sebenarnya otak si Ramdani memang cemerlang. Hanya saja rasa malas dan sikap nyelenehnya lebih mendominasi saja. Tapi, ada baiknya si Ramdani ada di kelas ini karena dialah mood baster orang-orang. Dia selalu membuat gaduh dengan kelucuannya, jadi suasana di kelas pun selalu seru. Tapi pernah waktu itu dia tidak ngomong sama sekali di kelas, menjawab salam pun begitu lemas. Kata teman-temannya si Ramdani lagi galau karena ditolak sama si Fanny, siswi paling putih dan manis di kelas. Ya, iya sih ... mungkin selera Fanny juga lebih tinggi, makanya murid nyeleneh saya ini ditolaknya. Tapi, tidak butuh waktu lama. Seminggu setelahnya saat saya masuk ke kelas untuk mengajar, dia sudah seperti biasa lagi. Dilihatnya juga kedekatan Ramdani sama Fannya juga biasa, mereka bisa dewasa juga dan saya pun ikut senang.

Hal yang pertama saya perhatikan setelah mendapat kabar tidak enak tadi, adalah bangku Indah. Ternyata benar, Indah tidak ada. Saya rasa dia tidak sekolah karena malu gossip tentangnya sudah menyebar. Indah, Indah ... saya selaku guru yang dekat dengan kelas ini meskipun saya bukan wali kelasnya pun turut sedih, ada sedikit perasaan kecewa di dada saya. Bagaimana kedua orang tuanya di rumah? Mereka pasti juga menanggung rasa malu yang teramat sangat, saya juga merasakannya apalagi mereka. Kepintaran seseorang tidak menjamin kalau dia tidak bisa menjaga batasan dengan lawan jenisnya. Lalu, bagaimanakah nanti sikap pak Abdul menangani masalah ini? Pastinya Indah akan diberhentikan dari sekolah. Kasihan sekali, padahal saya smepat mengira Indah akan ikut SNMPTN atau SBMPTN nantinya. Pilu rasanya.

Saya pun mengabsen murid, hanya dengan menanyakan siapa saja yang tidak hadir sambil membuka satu surat di meja saya.

"Siapa yang enggak hadir?" tanya saya dan sekilas melihat pada mereka, murid-murid saya yang tentunya sedang memusatkan perhatian mereka ke depan kelas. Tertuju pada saya semuanya.

Dibacanya surat yang baru saya buka, benar.

"Indah Bu," jawab semuanya kompak.

Tertulis nama Indah, dengan alasan izin.

"Indah izin apa? Ke mana?" tanya saya pura-pura tidak tahu.

"Pergi ke Dokter mungkin Bu, periksa kan –" celetuk salah satu siswa snegaja memotong kalimatnya sambil tertawa, dia adalah Ade—rekan gacornya si Ramdani.

Masing-masing reaksi murid berbeda-beda, ada yang terlihat tertawa karena celetukkan Ade, ada yang juga hanya diam seperti tidak ingin ikut campur dan ada juga yang diam seperti ingin menutupi aib temannya itu. Walaupun mereka mungkin tidak bisa memungkiri diri lagi kalau semua guru-guru sudah tahu, sekaligus semua murid di sekolah ini. Berita jelek memang mudah sekali menyebar.

"Apa kamu bilang, De?" tanyaku menyelidik. Apakah dari mereka akan ada yang membocorkannya pada saya sekarang? Karena memang biasanya mereka selalu cerita-cerita tentang semua yang tengah ramai diperbincangkan di sekolah. Kadang pas ada yang baru jadian pun mereka selalu mengumumkannya pada saya dan seketika kelas pun jadi ramai, kalau tidak langsung saya potong untuk memulai pelajaran, mungkin mereka senang mengobrol dengan saya sampai akhir mata pelajaran saya.

Ade diam, dia melirik Ramdani--teman sebangkunya. Ramdani menyenggol Ade dengan siku. Semua murid pun terlihat memalingkan wajah mereka. Termasuk teman sebangku Indah—Mayang. Dia dari tadi hanya diam dan sesekali berpura-pura menulis dan memainkan pulpennya. Seperti ada yang aneh, satu-satunya murid yang melihat fokus pada saya hanya murid di jajaran depan saja, dan tiba-tiba Tasya yang duduk di depan pun berbicara.

"Ibu, belum tahu gossipnya emang?" tanya Tasya.

Saya pun langsung bertanya balik, "gossip apa? Emang ada apa dengan Indah?" kutanyai mereka semua sambil melihat mereka yang sekarang tampak kaku. Mungkin mereka hanya tidak ingin membocorkan aib temannya sendiri.

"Indah hamil Bu," celetuk Mia menimpali. Siswi yang suka duduk di ujung dekat pintu karena itu bangkunya pun menjawab santai sambil menggit pulpennya.

Saya memang tidak terlalu terkejut karena sudah mendengarnya dari Bu Astri, tapi ini adalah kesempatan untuk saya tahu kenapa Indah hamil.

"Innalillahi, sama siapa? Pacarnya?" tanya saya sambil melihat semuanya, tidak bertumpu pada Mia saja yang sudah membocorkannya dengan jelas.

"Iya, Bu," balas semua hampira serempak kali ini.

"Pacarnya di kelas ini?" tanya saya lagi.

Semua langsun terkejut apalagi para lelaki, mereka seperti tidak mauu disudutkan sebagai pelaku karena memang bukan salah satu dari mereka.

"Bukan Bu," balas mereka serempak, tapi sebagian. Ada murid-murid yang emmang sedari tadi hanya bungkam saja. Mungkin mereka juga tidak tahu detail apa yang sedang terjadi.

"Kalau orangna di sini pasti salah satu cowok itu juga enggak bakal sekolah Bu, pasti malu," timpal Ramdani sambil cengengesan dan adu tos dengan Ade. Berarti pacar Indah di sekolah lain, atau bisa jadi di sekolah ini tapi beda kelas? Munkin saja, ya kan?

"Dia di sekolah ini Bu," timpal Megan sambil melirik teman sebangkunya—Tasya. Mereka seperti mengulur-ngulur jawaban, bukan bermaksud membuatku penasaran, tapi ... sepertinya mereka ragu untuk menjawabnya.

"Ibu masa enggak tahu Bu? Emangnya di kantor belum rame ya? Kok gituh sih ya, berarti belum diusut dong? Gimana nih, pak Abdul sama bu Ismanya ke mana lagi? Belum nongol ke sekolah tadi pas upacara juga," celetuk Fery sekarang yang ngomong. Dia memang salah satu siswa yang selalu pedas kalau berbicara. Saya pun semakin aneh, maksud Fery apa juga bawa-bawa kantor berikut pak Abdul dan bu Isma? Kalau memang hamil karena kesalahan sendiri pastinya tanggung jawab mereka yang melakukan itu kan? Paling sekolah menasehati dan mengeluarkan mereka.

"Enggak, di kantor enggak rame apa-apa kok," elak saya, karena memang kenyataannya sebenarnya begitu.

"Mungkin Ibunya yang kurang update," celetuk Ade cengengesan. "Maaf Bu, Ibu memang jarang makan gossip kan? Jadi Ibu enggak tahu," sambung Ade lagi.

Saya pun tertawa bingung. Jujur, sangat bingung sambil memegang kepala dan kemudian melipatkan kedua tangan saya di depan dada.

"Jadi, masalahnya kenapa? Indah hamil sama siapa? Memangnya pacarnya enggak mau tanggung jawab?"

"Bagaimana mau tanggung jawab Bu, pacarnya aja udah punya istri. Bingung kali dia." Fery kembali sinis. Entah kenapa dia menanggapi kasus ini begitu terlihat dendam, saya pun masih belum bisa mencerna jawaban dari mereka yang terasa masih seperti teka teki.

Saat Cinta BerpalingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang