6. Dia Sedang di Kamarnya

42 0 0
                                    

 "Ma, Imah mau ke kamar ya," ucap Imah sambil membelai wajah saya. Anak ini memang selalu menggoda siapa pun, tak peduli situasi tengah serius atau tidak.

Saya pun mengangguk. "Iya, sana!"

Imah pun berlalu pergi menaiki tangga.

"Ya itu sih terserah kamu Iz, semua pilihan ada di kamu. Cuman, mama ingetin kalau setiap pilihan pasti disertai resikonya masing-masing."

"Iya," balas Faiz.

"Namanya siapa?" tanya saya penasaran siapa sosok yang Faiz sukai.

"Siapa, Ma?"

"Perempuan yang udah bikin anak mama jatuh hatilah." Saya pun tertawa kecil sambil terus melihat Faiz yang sekarang merubah posisi duduknya jadi menyelonjorkan kakinya ke depan dan kedua tangannya menjadi tumpuan badannya dan disimpan ke samping.

Faiz tersenyum, ada guratan malu di kerutan senyumannya itu.

"Mama engak bakal tahu." Faiz berusaha menyembunyikan.

"Iya, karena kamu enggak kasih tahu mama. Kalau kamu kasih tahu mungkin mama juga udah tahu."

Faiz kembali salah tingkah dan terus tersenyum-senyum. "Namanya Nabila."

"Nabila? Sepertinya dia cantik deh," puji saya, meskipun saya belum tahu wajah sosok Nabila itu bagaimana. Tapi, mau cantik atau tidak saya no coment.

"Banget," balas Faiz sambil nyengir, saya pun jadi ikutan tertular untuk tidak tertawa.

Saya lihat, Imah sudah kembali dan sedang menuruni tangga dengan cepat dan segera menuju ke tempat saya duduk sambil tertawa-tawa dan sepertinya dia tidak ingin Faiz melihat apa yang tengah dia bawa di tangannya sekarang.

"Ini Ma, pacarnya kak Faiz." Imah menunjukkan foto yang ada di layar handphone Faiz.

"Oh, ini." Saya pun memperhatikan foto itu, memang cantik, manis, tubuhnya kecil sama kayak Faiz.

Faiz masih melamun, dia tidak sadar. Tapi, saat saya dan Imah tertawa, dia pun bergegas merebut handphone-nya yang sudah lancang Imah ambil dari kamar Faiz.

"Ih, itu handphone aku." Faiz berusaha merebut handphone-nya dari tangan ibunya ini yang masih melihat layar. Tapi, sayangnya kalah cepat dengan Imah yang langsung kabur mengambil handphone kakaknya. Mereka berdua kejar-kejaran.

"Nggak mau, nggak mau." Imah jingkrak-jingkrak sambil menyembunyikan handphone milik Faiz ke belakang pungunggnya.

"Imah, balikin! Balikin atau enggak kakak marah sama kamu." Faiz mengancam Imah, tapi sedari tadi dia juga tertawa-tawa melihat kelakuan adiknya yang sangat oces itu.

"Imah, Sayang ... balikkin Nak, kasihan tuh kak Faiz wajahnya merah kayak strawberry. Nanti Imah juga ngalamin loh jatuh cinta sama kayak kak Faiz." Saya melontarkan guyonan pada Imah, tapi Imah seketika langsung menurut dan Faiz langsung mengambil handphone-nya dan menjewer Imah pelan.

"Nakal!" Faiz pun segera duduk kembali, sedangkan adiknya masih cengengesan. Imah tampak merayakan kemenangannya karena telah membuat Faiz malu sekarang. Malu karena ibunya sudah tahu kalau anak lelakinya sudah mulai menaruh perasaan pada lawan jenisnya sendiri.

Tiba-tiba, pandangan kami tertuju ke pintu secara bersamaan setelah mendengar ucapan salam.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawab kami bertiga serempak.

Imah begitu girang. "Ayah! Ayah pulang."

Imah seperti bertemu dengan ayahnya setelah bertahun lamanya tak jumpa. Sangat antusias. Apalagi di tangan Mas Rifki sekarang tampak menjinjing plastik. Sepertinya mas Rifki sudah ke toko swalayan dulu tadi.

"Nih, buat Imah, Mama sama kak Faiz." Mas Rifki langsung memberikannya pada Imah.

"Asik, yeeee!" Imah kegirangan sambil meloncat-loncat dan menghampiri saya dan Faiz yang masih terduduk. "Lihat Kak!" Tunjuknya pada Faiz. "Ice cream!"

"Kok udah pulang, Mas?" tanya saya, mencegat mas Rifki terlihat ingin naik ke atas, ke kamarnya saya rasa. Wajahnya seperti tidak sedang baik-baik saja. Mas Rifki kenapa?

Dia menggaruk kepala bagian depan, dengan tatapan mata yang entah tertuju ke mana –mas Rifki menjawab, "mas kepikiran Imah, jadi mas pulang." Mas Rifki pun tersenyum, saya yang mendengarnya pun terenyuh. "Mas langsung tidur ya." Dia pun berlalu setelah mendapat anggukan dari saya. Kedua anaknya tampak santai sekali memakan ice cream.

Saya terus melihat mas Rifki yang berjalan di tangga. Apa mas Rifki enggak enak badan, ya? Hati saya rasanya tidak enak. Mas Rifki kalau sakit suka kayak anak kecil, pasti rewel, mulutnya juga tak akan henti-henti mengerang kesakitan. Saya pun berinisiatif untuk bertanya lebih dekat. Takutnya dia memang tidak ingin jujur di depan anak-anak, atau mungkin mas Rifki ingin saya pijiti. Mencoba memberikan sinyal agar istrinya paham.

Namun, saat saya beranjak pergi Imah sadar dan bertanya, "Mama mau tidur, ya?"

Saya pun menoleh padanya, tak hanya Imah yang bertanya. Tapi sorot tajam Faiz pun sepertinya sama-sama meminta jawaban dari saya.

"Ibu mau ke atas dulu, mau nyamperin Ayah. Imah di sini aja, kan ada kak Faiz." Saya tersenyum pada Faiz. Faiz tidak bereaksi apa pun dan kembali menatap layar televisi.

"Tapi ice cream jatah Mama, gimana?"

Saya tersenyum mendengar pertanyaan klise Imah. Saya tahu maksudnya. Itu seolah kalau saya enggak mau, ice cream-nya mending buat Imah saja.

"Buat Imah aja," kataku dengan tambahan senyum yang mengembang khusus si bungsu.

Imah terlihat tak yakin. Memandang ibunya sendiri seperti melihat seorang pencuri, penuh kecurigaan. Tapi dia mengangguk, saya pun langsung segera pergi. Menyusuri anak tangga yang menyudut ke sudut tembok dan kemudian berbelok ke kanan. Tangga yang dulu saat saya masuk ke rumah ini seakan menjadi icon rumah yang keestetikaannya begitu memikat hati saya. Sekarang? Sekarang masih tampak seperti dulu, tapi karena sudah lama tinggal jadi terkesan biasa saja.

Saya buka pintu kamar milik saya dan mas Rifki, ternyata mas Rifki tidak ada. Sudah dapat ditebak di mana keberadaannya sekarang. Pastinya dia sudah pergi ke kamarnya sendiri. Kamar yang seakan menjadi orang ketiga di antara kita karena sejak mas Rifki tidur di sana, dia sudah tidak pernah menyentuh istrinya ini. Rindu? Ya, tentu. Belaian seorang suami untuk istri adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Tapi saya tidak ingin berpikir negatif, mungkin di usia sekarang perempuan memang lebih ingin daripada lelaki. Saya tidak berani meminta, meskipun saya mau tapi rasanya malu –yang saya harapkan bukan sekadar nafsu, tapi perhatian, perasaan nyaman ketika sekasur dan bercumbu mesra yang sudah tak dapat lagi saya rasa. Ah, sudahlah. Saya tak ingin menduga-duga apa yang tengah menghasut suami saya sampai dia tidak menyentuh saya selama berbulan-bulan ini. Tapi, dia masih sering mengecup kening, memuji dengan rayuan gombal meski rasanya hambar kalau sekarang, dan juga masih terlihat sebagai suami dan ayah yang perhatian. Mungkin ini hanya perasaan saya saja karena mas Rifki sudah tidak tertarik lagi menjamahi tubuh istrinya sendiri. Astagfirullah, saya mohon ampun ya Alloh karena sudah su'udzon pada suami sendiri.

Saya pun bergegas menghampiri mas Rifki ke kamarnya. Siapa tahu dia memang butuh bantuan saya untuk sekadar memijit badan atau juga kakinya. Semoga rumah tangga kita semakin harmonis, kalau saya juga bisa menyenangkan hati mas Rifki dengan perhatian –meskipun dengan tindakan sederhana pastinya mas Rifki juga merasa bangga telah memiliki saya.

Bismillah ... saya buka pintu kamar mas Rifki, tapi ternyata pintu tidak tertutup rapat. Saya bisa melihat mas Rifki dari celahnya. Namun, saat saya ingin membuka pintu itu dengan lebar.

"Iya, mas ngerti. Paham, sabar dulu ya! Tadi kan udah ketemu, jadi kamu enggak perlu merasa kesepian lagi di rumah. Kamu mau apa? Besok mas bawain," ucap mas Rifki pada seseorang di balik panggilan telepon genggamnya.

Saat Cinta BerpalingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang