2. Pisah Ranjang

53 0 0
                                    

Setiap hari, sekarang saya tidur sendiri dan terkadang juga tidur bersama Imah jika dia meminta. Mas Rifki lebih memilih menempati kamar tamu, dan sekarang itu menjadi kamarnya kalau tidur. Alasannya karena saya lebih suka lampu kamar dimatikan kalau mau tidur, tapi Mas Rifki malah sebaliknya. Awal-awal terasa biasa karena Mas Rifki hanya tidur di kamar itu ketika pikirannya sedang ruwet dengan masalah bisnis yang sedang dirintisnya, jatuh bangun sudah biasa terjadi di dalam bisnis. Jadi, saya juga tidak mempermasalahkannya jika Mas Rifki ingin menyendiri karena dia sering bergadang, katanya dia tidak ingin membuat saya terganggu dengan lampu kamar yang dinyalakan untuk meneranginya bekerja dengan laptop.

Lagi-lagi, tetap saja. Lama kelamaan saya pun merasa ada yang aneh darinya, semisal gaya penampilan yang lebih modis dan parfum yang jangan sampai terlewatkan setiap dia berpergian. Biasanya, masalah parfum saja harus saya ingatkan. Tapi lain halnya setelah kita berbeda kamar, sikap dan kebiasaan Mas Rifki juga berubah. Bahkan, dia sudah jarang menyentuh saya. Padahal, jika harus dikatakan jujur ... saya masih butuh nafkah batin darinya. Bagaimana bisa seorang lelaki sanggup tidak menyentuh istrinya sampai berbulan-bulan? Tentunya kita sebagai seorang istri pun was-was akan itu. Tapi, masih terus kuusahakan untuk tidak su'udzon padanya. Mungkin, kalau sudah beranak dua dan sudah gede seperti Faiz dan Imah, kebutuhan ranjang memang bukan nomor satu bagi orang sesibuk Mas Rifki. Begitu pikirku, masih tetap kuusahakan husnu'dzon padanya.

Seperti biasa, setiap di hari senin ... para guru pun berjajar rapi mengikuti upacara. Berbeda dengan para murid yang berbaris rapi di lapangan, kami para guru berjajar di tepinya. Ada guru yang bertugas di lapang mengawasi murid, ada guru yang menjadi bagian jadi pembicara, dan bahkan ada guru yang sibuk dengan administrasi sekolah jadi dia absen tidak mengikuti upacara –atau justru memang sengaja bolos itu juga ada, mereka hanya mengobrol di kantor dan yang jelas guru juga manusia. Tidak semua dari mereka juga mengerti apa arti upacara bendera untuk menghormati jasa para pahlawan yang sudah pupus tapi jasanya haruslah dihormati sampai kapan pun.

Namun sebenarnya mereka hanya tidak bertanggung jawab akan profesinya saja, perkara sadar, itu hanya tidak diasah saja dan berbeda kalau ada Ketua Yayasan sekaligus pemilik sekolah ini, yaitu Pak Abdul Solihin dan Kepala Sekolahnya yang tidak lain adalah istrinya sendiri—Bu Isma Kardasih, pastinya tidak akan ada guru yang berani berleha-leha di kantor.

Seharusnya semua gur u harus lebih sadar kalau tanpa mereka (Pahlawan Bangsa), bisa jadi kita semua masih mencicipi getirnya dijajah oleh bangsa lain. Kebebasan yang sangat minim dan beragam akses rakyat dibatas, hanya golongan tertentu yang bisa menghirup udara dengan lega. Enggak ingin kan kita kembali ke masa-masa penuh derita itu? Ya ... meskipun nasionalisme diri seseorang juga tidak sama. Tapi bagiku, seorang guru harus mencontohkan nilai baik pada murid-muridnya.

Upacara hanya sebentar, jika sudah terbiasa juga tidak akan merasa diberatkan. Semua orang bubar, termasuk semua murid pun kembali ke kelas masing-masing sedangkan guru kembali ke kantor dulu sebelum bergegas mengajar.

Saya mengambil tas dulu di kantor, terlihat beberapa guru yang akan mengajar di jadwal kedua pelajaran sedang sarapan. Mereka menawari guru-guru yang akan segera mengajar, termasuk saya.

"Bu, sarapan dulu," seru Pak Soni sambil tersenyum.

Saya pun juga membalas senyumannya dan tersenyum pada rekan saya yang lain.

"Mangga Pak, Bu ... saya duluan ngajar," balas saya sembari berlalu keluar.

Saya berjalan menuju ke kelas sebelas, jadwal satu-satunya di waktu pelajaran pertama karena jadwal yang lain tidak ada yang saya isi di jam tujuh. Selebihnya paling jadwal mata pelajaran kedua, ketiga dan bahkan ada yang terakhir. Tapi, semuanya saya anggap rata. Tidak lantas karena jadwal terakhir mata pelajaran, saya setengah-setengah mengajar. Tidak. Saya usahakan untuk tetap semangat mengajar agar anak-anak saya pun juga sama semangatnya.

Di belakang, Bu Astri menyusul langkah saya. Usia dia dua tahun lebih tua dari saya, makanya saya masih tetap menyebutnya 'Bu' untuk menghormati. Tapi dia pun memanggil saya dengan sebutan 'Bu' karena suaminya saya adalah kakak tingkatnya saat kuliah.

"Ngajar di kelas sebelas IPS A ya, Bu?" tanya Bu Astri. Kami masih menggemakan suara langkah sepatu di lorong-lorong jalanan yang sudah hening, sebagian guru mungkin sudah lebih cepat masuk ke kelas daripada kami berdua yang masih berjalan.

"Iya, Bu. Bu Astri sekarang ngajar di kelas berapa?" tanya saya karena tidak semua jadwal kelas rekan-rekan guru saya ketahui, maklum terlalu banyak.

"Ngajar di kelas dua belas IPA A," jawabnya sembari tersenyum. Kebetulan juga dia adalah wali kelasnya, Bu Astri adalah guru Bahasa Indonesia sedangkan saya adalah guru Sejarah. "Oh ya Bu, udah denger gossip belum?" tanya Bu Astri. Saya yang baru ingin pamit karena kelas sebelas IPS sudah di depan mata pun tidak jadi karena seketika dahi saya mengernyit dan masih berjalan bersamanya dengan pelan. Bu Astri memanglah orang yang up to date dengan gossip terkini, dia adalah rekan saya yang selalu memberi informasi terbaru. Jadinya, saya juga sering tahu beberapa gossip yang beredar di sekolah. Baik itu mengenai murid, maupun para rekan guru yang lain.

"Gossip apa memangnya, Bu?" tanya saya tidak tahu.

Dia terlihat terkejut. Ahhh, reaksi seperti itu masih banyak ditampakkan pada saya karena kurangnya konsumsi pada gossip gossip yang beredar terkecuali darinya.

"Ibu bener enggak tahu?" tanya Bu Astri sambil melotot, wajahnya pun melirik sana sini. Mungkin dia takut ada yang menguping pembicaraan kita.

Aku pun menggeleng. "Enggak, emangnya ada apa? Ibu kan tahu sendiri kalau saya memang jarang denger gossip kalau bukan dari Ibu," ucapku sembari tersenyum padanya.

Ia pun menepuk bahuku, sambil terkekeh sadar diri. Ucapan saya barusan enggak salah, kan? Karena memang faktanya begitu, kalau dia tidak memberi info ... ya saya juga enggak akan tahu apa pun. Ada baiknya juga sih sebenarnya.

"Hehe, iya ya." Dia nyengir. "Ini lho Bu, semua guru udah pada tahu kalau si Indah hamil," jelasnya, membocorkan gossip yang tengah ramai dibicarakan. "Kasihan ya," sambungnya lagi.

"Apa?" Saya pun terkejut. Indah adalah siswi berprestasi di kelas sebelas IPS A. Kelas A bisa disebut kelas unggulan, yang di mana setiap muridnya adalah murid pilihan yang ketika mereka duduk di kelas sepuluhnya mereka adalah orang-orang yang berada di peringkat satu sampai sepuluh besar.

"Tuhkan, Bu Meta pasti terkejut. Semua orang juga sama Bu, sayang sekali anak itu."

Saya merenung, kenapa bisa anak sepintar dan sebaik, serajin Indah bisa terjerumus ke dalam pergaulan bebas sampai kebablasan seperti itu. Apa yang salah? Dan mengapa? Siapa juga yang sudah menghamili Indah? Saya sebagai gurunya pun juga ikut bersedih mendengar kabar buruk itu. Saya ingin menanyakan siapa yang menghamili Indah, siapa pacarnya? Apa Indah memang punya pacar?Tapi saya urungkan rasa penasaran itu karena tidak ingin telat masuk, di dalam kelas ... anak-anak sudah memperhatikan saya yang masih mengobrol di luar dengan Bu Astri. Tidak enak rasanya.

Saat Cinta BerpalingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang