13

3.1K 227 49
                                    

Jiang Cheng berlari tak melihat arah. Masih geli akan sesuatu yang baru saja terjadi. Matanya tertutup, dan bibirnya masih melengkung menahan tawa, hingga ketika ia tak sengaja menabrak seseorang, ia terkejut dan segera sadar.

"Ah!" ia berseru.

Mengusap dahi, ia memohon maaf sambil menjaga jarak dengan sopan. Bagaimanapun ini salahnya, meski terkadang ia lebih banyak memaki ketika kejadian seperti ini terjadi.

Itu masih belum selesai, kala kedua lengan besar pria yang ditabraknya, meraih kedua pinggang langsingnya dengan pas dan menariknya kembali mendekat.

Merasa tak asing dengan tingkah dan aroma khas ini, ia segera mendongak hanya untuk melihat pria berwajah garang yang menjabat menjadi kekasih hatinya itu.

"Apa yang membuat mu tak fokus seperti ini?" tanya Wen Rouhan.

Jiang Cheng masih bingung, sampai tiba-tiba bayangan tadi terputar ulang diotaknya, hingga ia tak bisa lagi menahan tawa dan kepalanya jatuh ke dada bidang pria yang sembilan tahun lebih tua darinya itu.

"Hahahaha ..."

Kedua tangannya berpegang teguh di bahu tegap pria tampan bermarga Wen tersebut, ketika kakinya merasa lemas karena terlalu banyak tertawa.

Dengan sikap tanggap, Wen Rouhan segera menangkap siku Jiang Cheng dan menahannya agar berdiri teguh.

Tertawa sampai mengeluarkan air mata seperti itu, teramat jarang bagi Jiang Cheng, apalagi mengingat sikapnya yang tempramen dan lebih banyak marah-marah dan mengamuk.

Kembali menangkap pinggangnya yang hampir luruh, Wen Rouhan segera mendesis, "berdiri yang benar."

Jiang Cheng masih terjebak dengan tawa nya, "k-kau tahu tidak? Hahaha, tadi aku ..."

Wen Rouhan memutar matanya dengan bosan, ini akan memakan waktu yang banyak untuk menghentikannya dari tawa.

Ia segera menarik tangan Jiang Cheng dan membawanya kedalam mobil yang ia parkir di pinggir jalan.

Membuka pintu dan membantu Jiang Cheng yang masih loyo untuk duduk, ia berucap sambil melirik kursi belakang "aku membelikanmu banyak oleh-oleh."

Jiang Cheng segera sadar akan sesuatu, ia menarik nafas panjang beberapa kali, "k-kamu ... Akhu masih adha sesuatu yang be-be—"

Ia masih tersedak dengan tawanya, sampai uluran botol air minum ia tanggapi dan langsung ditenggaknya hingga setengah botol.

Menyerahkan botol kembali, ia segera mengusap air yang menetes dari bibirnya dengan lengan baju. Tak lupa, mengusap matanya yang basah karena tawa.

Dan dengan mata melotot, dan telunjuk yang terarah kedepan, Jiang Cheng sudah kembali dalam dirinya sendiri. "KAMU!"

Menyalakan mobil dan segera pergi pulang, Wen Rouhan abai akan kemurkaan kekasihnya dan malah menanyakan topik lain, "kau dari mana saja tertawa tak henti seperti itu? Aku mencarimu kemana-mana."

"Jangan mengalihkan topik pembicaraan! Aku masih marah padamu, karena tak memberi kabar selama pekerjaan bisnismu keluar kota itu!"

Wen Rouhan menghela nafas panjang. Ia hanya belajar dari kejadian bulan lepas, yang mana ia malah lebih banyak berkirim pesan dan melakukan panggilan kepada Jiang Cheng karena tak sanggup menahan rindu.

Dua minggu terbilang cukup lama, karena bagaimanapun waktu mereka bersama pun sangat singkat karena kesibukan keduanya dalam pekerjaan masing-masing. Apalagi biasanya hanya memakan waktu paling banyak satu minggu, dari perjalanan bisnisnya.

Sekretarisnya sampai kelimpungan untuk menangani pekerjaannya masa itu.

"Kau kan tahu bagaimana terakhir kali aku pergi, semuanya jadi amburadul."

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang