Part 13

1.4K 196 28
                                    

Warning!!!

Cerita ini hanya fiktif belaka dan mirip sinetron. Kalo nggak suka silakan tinggalkan aja ya 🙏

Walaupun di sebelah udah tamat, dan terbit ebook, tapi di sini akan tetap dilanjut sampai TAMAT asal sabar.

***

Hari demi hari berlalu dengan Arka yang terasa kian menjauh dari Aura. Lelaki itu jarang pulang, sekalipun pulang maka ia akan tidur di sofa lantaran di rumah itu hanya terdapat dua buah kamar. Harusnya Arka sudah menceraikan Aura agar semuanya selesai. Sehingga Aura tak perlu terbelenggu pernikahan mereka yang sudah tak jelas ini, juga Arka bisa segera menikahi kekasihnya. Namun, entah mengapa suaminya itu keras kepala dan tak mau langsung menjatuhkan talak.

"Ini kamar kamu, Mas. Biar aku aja yang tidur di luar kalo kamu udah nggak sudi tidur sama aku lagi," ujar Aura saat melihat Arka yang ingin meninggalkan kamar mereka. Tidur di luar sebenarnya bukan ide yang baik, sebab papa mertuanya akan lebih mudah berbuat cabul terhadapnya. Toh di kamar yang sudah terkunci pun Hamid masih bisa masuk. Tapi, kamar yang sekarang Aura tempati adalah milik Arka, sehingga harusnya laki-laki itu yang tidur di sana.

Jujur saja, Aura ingin jika Arka menahannya dan mengatakan kalau mereka bisa tidur di ranjang yang sama seperti sebelum ada masalah. Ia merindukan pelukan hangat suaminya yang sudah cukup lama tak pernah dirinya rasakan lagi.

"Oh, ya sudah."

Alih-alih mengajaknya tidur bersama, Arka malah menyetujui usulnya itu. Arka yang Aura tahu bukan seperti ini. Suaminya tak akan tega menyuruhnya tidur di sofa apalagi jika dirinya sedang hamil seperti ini. Namun, semuanya memang sudah berubah sejak kejadiaan naas itu.

"Iya, Mas. Selamat malam," sahut Aura seraya menatap wajah sang suami dengan Arka yang membuang muka. Dengan langkah pelan, Aura berjalan meninggalkan kamar karena berniat tidur di sofa. Tiba-tiba saja ponselnya berdering tanda ada panggilan masuk.

Mama

Aura meneguk ludah dengan susah payah kala membaca nama yang tertera di layar ponselnya. Tanpa sadar tangannya sudah berkeringat dingin. Sebenarnya Aura ingin membagi semua bebannya pada sang mama. Namun, ia tak tega menambah beban pikiran orang tuanya.

"Assalamualaikum, Ma," sapa Aura lebih dulu usai menggeser ikon panggilan berwarna hijau.

"Waalaikum salam, Sayang. Kamu gimana kabarnya? Udah lama loh nggak pernah nelpon Mama lagi. Mentang-mentang udah punya suami, kamu malah lupa sama Mama, sama Papa."

Aura terdiam dengan rasa bersalah yang nyata. Ia tidak berani menghubungi mama atau papanya karena takut tak kuasa untuk tidak menceritakan perihal rumah tangganya yang terancam rusak. Perihal dirinya yang sudah dirusak oleh papa mertuanya sebelum malam pertamanya dengan Arka.

"Bukan kayak gitu, Ma. Aura nggak pernah lupa sama Mama, sama Papa. Aura malah kangen banget sama kalian." Aura menggigit bibir bawahnya untuk menahan laju air mata yang terasa menggenangi pelupuk matanya.

"Iya deh. Jadi gimana kabar kamu? Sehat 'kan? Suami kamu gimana juga?"

"Aura sehat, Ma. Mas Arka juga," sahut Aura seraya melirik sang suami yang sudah duduk di tepi ranjang. Setelah mendapati panggilan dari mamanya tadi, Aura tanpa sadar tak jadi melangkah meninggalkan kamar.

Dari fisik yang terlihat, baik Aura maupun Arka sama-sama sehat. Hanya hati mereka yang terasa sakit dan saling kecewa.

"Syukurlah kalo gitu. Di mana suami kamu, Sayang? Mama mau bicara."

Aura lagi dan lagi meneguk ludah sambil menebak-nebak apa yang ingin mamanya bicarakan. Mungkinkah wanita yang sudah melahirkannya itu bisa menebak apa yang tengah terjadi saat ini?

Imperfect WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang