Meja Pembatas

719 43 11
                                    

Matanya sedari tadi menyapu ke seluruh penjuru. Ramai riuh tempat itu, membuat wajahnya mengukir senyum. Semua bahagia. Itu yang ia tangkap sependek ini.

Pernikahan outdoor yang dirancang oleh temannya, cukup memberinya ide untuk dirinya kelak. Ikrar janji suci di bawah naungan dahan pohon yang rindang dengan rangkaian bunga putih, membuat semuanya terlihat menyegarkan mata.

Kalimat-kalimat perjanjian yang kedua mempelai ucapkan di hadapan Tuhan serta tamu yang datang, mengundang haru yang tak dapat disembunyikan oleh semua. Termasuk dirinya.

Duduk di baris kedua, dia bisa melihat dengan jelas, mata temannya yang berlinang air mata. Dia bisa mendengar dengan jelas suara berat itu bergetar ketika mengucap janji suci untuk pasangannya.

Dia terharu, namun sempat terkikik geli melihat temannya yang paling konyol, menangis tersedu-sedu di hadapan semua orang. Matanya memerah. Bahunya beberapa kali bergetar.

"Gue sayang banget sama dia."

Ingatan bawah kepalanya, tiba-tiba memutar potongan kalimat temannya. Kalimat yang terdengar sangat dalam kala itu. Kalimat yang sudah temannya buktikan saat ini. Temannya buktikan dengan mengucap janji di hadapan sang pasangan dan Tuhan.

Dia salut. Dia terharu hingga matanya ikut berkaca-kaca saat kedua mempelai selesai berikrar, kemudian ciuman.

Riuh tepuk tangan menyambut itu semua. Kedua telapak tangannya pun juga ikut terangkat untuk melakukannya juga.

Satu persatu tamu, beranjak ke depan. Memberikan ucapan selamat dengan jabat tangan. Pun dirinya. Dia sedang berdiri mengantri di belakang punggung tamu yang lain.

Ketika tiba di hadapan sang kawan, lengan kokohnya langsung mendekap dengan erat. Begitupun temannya. Mereka tertawa di tengah ucapan selamat yang terucap.

"Thank's udah dateng, bro."

"Gue ngeri lo bakar rumah gue kalau nggak dateng."

"Haha. Jelaslah!"

"Sialan emang. Ya udah, gue turun dulu. Masih banyak yang antri."

"Sip. Enjoy ya. Makan yang banyak."

"Beres itu mah."

Dia turun dan membawa tungkainya menuju salah satu meja berisi gelas-gelas minuman. Dia ambil satu untuk ia sesap agar tenggorokannya sedikit basah.

Matanya menangkap meja kosong yang letaknya cukup jauh dari singgasana kedua mempelai. Bibirnya terangkat. Spot yang bagus, pikirnya.

Tubuhnya dia sandarkan di kursi berlapis kain putih berhias pita emas di sana. Gelas yang ia bawa, ia letakkan di meja samping lengannya.

Matanya masih menatap bahagia kawannya yang tak berhenti tersenyum membalas salam sapa dari para tamu. Dadanya menghangat merasakan kebahagiaan yang ada di sini sekarang.

Kebahagiaan yang semakin kentara saat lantunan lagu-lagu romantis dinyanyikan oleh penyanyi sewaan temannya itu.

Kepalanya manggut-manggut mengikuti musik dan suara yang masuk ke dalam gendang telinganya. Bibirnya sejenak dua jenak mengikuti lirik lagu yang dinyanyikan. Agaknya, dia akan berterima kasih kepada temannya. Hari sabtunya tidak membosankan seperti biasa.

"Aku pikir kamu nggak datang."

Dia terperanjat ketika sebuah suara menyapanya tiba-tiba. Matanya menatap orang yang tiba-tiba duduk di kursi kosong seberang. Meski tersekat meja bundar, ia bisa dengan jelas melihat bagaimana bibir tipis itu tersungging saat menatap ke arah depan.

Romansa Sang GadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang