Bimbingan

1.1K 65 16
                                    

Derap suara sepatu pantofel di luar mulai terdengar mendekat. Suaranya seperti detak jantung manusia-manusia tanggung yang ada di dalam ruangan saat ini, satu-dua, satu-dua. Kegiatan mereka, seketika berhanti, saat bayangan hitam mulai terlihat berdiri di depan pintu.

Kelas benar-benar hening saat dosen muda itu masuk dengan ransel yang bertengger di punggung tegapnya. Beberapa pasang mata kaum hawa terus mengikuti gerak-gerik pria muda yang kini telah duduk di balik meja kebesarannya. Jika bisa teriak, mungkin dinding kelas itu kini tengah bergetar. Namun, mereka masih memiliki kewarasan, orang yang duduk di depan mereka bukan aktor yang bisa dengan bebas di teriakan namanya, melainkan dosen yang harus mereka hormati profesinya. Semuda-mudanya dosen, ia tetaplah orang yang harus di hormati ketika di kelas.

"Maaf, saya telat lima menit, tadi saya harus kembali turun mengambil materi yang tertinggal di ruangan saya," ucapnya dengan penuh wibawa. Suranya berat dan sexy itu seketika menggema memenuhi ruang kelas. Dia berdiri bersiap memberi materi.

"Pake baju formal aja mantap betul. Jadi bayangin kalau pak Fadrun pake kaos sama kolor doang, sexy pasti," bisik salah satu mahasiswa ke teman sebelahnya.

"Mesum banget otak lo anjir!" dia tak kalah berbisik. Tapi seketika otaknya pun juga berimajinasi demikian.

"Anastasya, Indy, kalau tidak berkenan mengikuti kelas saya, silakan keluar. Pintu ada di sebelah sana," mereka yang di sebut pun langsung gugup dan menegapkan duduknya. Takut benar-benar diusir dari dalam kelas.

Tidak, bukan takut ketinggalan materi, mereka tak peduli, mereka hanya tidak ingin terlewat menikmati sosok yang ada di depan itu. Bukan hanya mereka yang begitu, mungkin hampir semua perempuan di jurusan mereka memiliki prinsip yang sama. Tak terkecuali dengan mahasiswa yang sekarang sedang senyam-senyum sendiri melihat kedua temannya ditegur, Chika.

Bahkan, manik matanya tak ia biarkan lepas dari sosok dosen idola itu. Mungkin sebagian besar mahasiswa di dalam kelas ini, hanya terkagum-kagum layaknya fangirl yang mengaggung-agungkan sosok idola prianya. Tapi, tidak dengan Chika. Ia benar-benar jatuh hati dengan pak –ah tidak, bahkan dia enggan memanggil Fadrun dengan sebutan pak.

Pendekatan yang Chika lakukan cukup intens dibanding dengan yang lain, yang bahkan menyapa saja sampai harus mengerahkan seluruh keberanian, hingga menyisakan ampas kemudian menjelma menjadi kegesrekan tak berkesudahan.

Katakanlah, gerilya, gerakan melalui bawah tanah, hanya dua orang temannya yang tahu Chika seberani itu. Mengajukan diri sebagai koordinator kelas adalah langkah agar mendapat kontak Fadrun itu lebih cepat dari yang lain. Sialnya, jika tak berhubungan dengan mata kuliah, Fadrun tak membalas pesan Chika. Tak masalah bagi dia, mungkin saat ini Fadrun sedang jual mahal dengan dirinya.

Chika, tidak terlalu menonjol, tapi cukup sering membuat para lelaki kehilangan jati diri saat Death wink miliknya itu ia lemparkan. Jarang yang berani menatap matanya lama. Ditatap Chika sebentar saja membuat diri hampir mati. Entah apa jadinya jika tatapan Chika sebuah itu belati, akankah populasi pria ia habisi? Tentu tidak! Masih ada Fadrun yang mengelak menatap Chika.

Fadrun berdiri di samping tempat duduk Chika sambil terus menjelaskan materi. Aroma parfumnya begitu menusuk rongga hidung Chika. Aroma jeruk yang berpadu dengan aroma woody yang terhirup, bagaikan asap ganja yang masuk ke dalam rongga dada, melegakan sejenak. Ah tidak, bahkan sepanjang waktu.

Chika pernah menghirup aroma tubuhnya begitu dekat saat dengan sengaja ia meringsek badan Fadrun saat usai kelas. Dia pernah menyandarkan kepalanya di dada Fadrun, menikmati degupan jantungnya sejenak.

Romansa Sang GadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang