Ai no Iro (1) -Strawberry dan Rasa Nyeri-

1.3K 85 4
                                    


Orang-orang di sekelilingku, ku lihat mereka dengan mudah menemukan cintanya. Sedang hatiku, masih saja terbelenggu dengan rasa sakit dan sepi yang teramat dalam.

Aku telah membiarkan hatiku terbuka, tapi sampai sekarang tetap kosong. Namun, ruangan kosong itu dindingnya kotor. Banyak goresan yang tak tahu kapan akan menghilang. Seseorang pernah berkata kepadaku, kalau waktu yang akan menyembuhkan luka yang ada di dalam ruang hati. Lantas aku bertanya kepadanya, apa waktu juga akan menghilangkan bekasnya? Dia bungkam.

Sekarang aku paham, mengapa waktu itu ia bungkam, ternyata itulah jawabannya, waktu juga hanya bisa diam membiarkan bekas luka itu menjadi tato alami dinding hati. Waktu tak bisa berbuat apa-apa selain menyuguhkan pertunjukan yang membuat kita sejenak melupakan goresan yang membekas.

Aku juga tak mungkin terus menginggat luka lama. Bukannya lupa, tapi memikirkan kesembuhan dinding lainnya lebih penting dari pada menengok bekas kesakitan masa kemarin. Terlalu lelah melihat goresan-goresan yang jumlahnya entah berapa. Bersyukur hati ini buatan Tuhan, bayangkan jika hati ini buatan manusia, mungkin sudah sepantasnya dibuang.

"Heh, bengong aja lu! Ngapa dah?" Aku terperanjat mendapati temanku yang menyadarkan lamunanku. Aku menggeleng.

"Kalau ada masalah cerita aja, Chik!" aku hanya tersenyum.

Kata-kata seperti itu selalu membuat bagian belakang kepalaku seolah ditetesi cairan nitrogen, terasa dingin dan sejuk. Otakku selalu memerintah untuk menceritkan semua masalahku ke orang terdekat, tapi salah satu sisi hatiku selalu mencegahku untuk membuka mulut.

Aku bukan tipe orang yang sering mencurahkan isi hati kepada orang lain. Aku selalu beranggapan, orang-orang hanya akan mendengarkan dan terlarut dengan cerita isi hatiku saat itu juga, lima menit kemudian, ceritaku akan menguap dan terbang bersama angin. Semua sia-sia. Aku tak menyukai hal itu. Mereka akan berpura-pura peduli dan menasehati, jika mereka merasa kata-kata bijaknya telah keluar semua, sedetik kemudian, mereka tak ingat apa yang telah mereka katakan.

Mungkin memang tak sepantasnya aku berpikiran buruk dan menyamakan semua orang seperti itu, tapi sekali lagi, aku sulit percaya kepada orang jika menyangkut masalah hati.

Aku menarik badanku ke belakang untuk menghindari terkena cipratan air hujan. Hari ini kembali hujan, bahkan bulan ini intensitas hujan semakin sering. Tapi anehnya, kenapa air langit itu tak bisa meghapus bekas luka yang dia tinggalkan?

Kepalaku dipaksa menoleh saat, Dey temanku malah melangkahkankakinya mendekat ke arah air yang megalir dari kanopi tempat kami berteduh. Dia menarik nafas dalam-dalam dan mengadahkan telapak tangannya di bawah air hujan yang menetes melalui kanopi.

"Nenek gue pernah ngomong, kalau setiap tetes hujan, itu mengandung kenangan. Entah kenangan menyedihkan atau sebaliknya. Kalo lo keinget kenangan pahit, bau hujan bakal nenangin pikiran dan hati lo. Sebaliknya, kalau lo keinget kenangan yang bikin seneng, bau hujan kayak pupuk, dia bakal nyuburin ingatan-ingatan lo di masa lalu. Haha! Ternyata orang tua dulu udah paham beginian ya?"

"Terus, lo percaya?" Dia mengangkat bahu.

"Tapi, emang hujan sering bawa kita ke ingatan masa lalu, nggak sih? Jadi misal lo ngarepin hujan bakal hapus luka, salah! Justru dia yang bakal bawa lo ke masa lampau lagi,"

Jika benar begitu, ini akan menjadi jawabanku saat ditanya kenapa aku tidak menyukai hujan, selain becek.

"Masuk dulu aja yuk, Dey. Lama-lama dingin neduh di luar," aku menawarinya yang sedang tersenyum memperhatikan tetesan kenangan itu turun dengan deras.

Romansa Sang GadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang