Ujung Dekap

392 38 6
                                    

Masih dalam sesak yang menghimpit, masih dalam sedih yang berdecit, dia diam. Duduk terdiam di kursi penumpang belakang, sembari menunggu kedua orangtuanya yang masih di dalam rumah. Matanya menoleh sejenak depan, ke arah dua kakaknya yang juga bungkam. Mereka yang biasanya riuh, kini seperti dua orang yang angkuh. Dia penyebabnya.

Ada lepasan napas yang ia buang di balik masker yang dikenakannya. Ada tegukan ludah yang susah payah ia telan untuk membasahi tenggorokannya. Dan ada air mata yang susah payah ia tahan agar tak keluar.

Sesak memang. Tapi ia lelah menangis sepanjang malam. Bahkan, bukan hanya semalam, malam-malam sebelumnya, ia juga melakukan itu. Hampir setiap hari sejak beberapa bulan yang lalu.

"Nangis aja, Ka, jangan ditahan."

Tepat ketika sang Kakak mengatupkan bibir usai mengutarakan kalimat barusan, air mata yang sedari ia tahan, turun. Turun saat ia berusaha menggeleng, menolak titah untuk menangis.

Tanpa diminta, Kakak yang tadi menyuruhnya menangis, sudah pindah duduk ke samping dirinya. Tak memeluk, tangan kokoh itu, hanya mengusap lembut punggungnya yang tengah menunduk. Menunduk untuk menangkup wajahnya demi meredam suara tangis ajar tak menggema ke seluruh sudut mobil.

Diusap seperti itu, membuat bahunya semakin bergetar. Membuat suara tangisnya semakin keluar.

"Nangisin aja, dari pada sesek di dada,"

"Bang..." rengeknya.

Dia mengangkat kepala, menegak, kemudian memeluk tubuh Kakak pertamanya erat.

Tangis yang tadi sudah ia keluarkan, semakin ia lepaskan dalam dekap hangat sang Kakak. Mungkin sekarang, air matanya sudah benar-benar membasahi kemeja biru tua yang kakaknya kenakan. Mungkin sekarang, semua orang sudah mendengar tangisnya yang menyedihkan.

"Bapak depan aja, Pak. Biar Rafly sama Mama di belakang,"

"Chika mau sama Abang apa sama Mama, Dek?" tawar Mamanya.

Dia belum menjawab, masih berusaha mengontrol tangisnya dalam dekap sang Kakak.

"Mama sebelah sana aja, Ma, Chika tengah. Biar nanti gampang kalau Chika mau sama Mama."

Selalu ada rasa syukur yang ia ikrarkan kepada Tuhan karena telah memberinya kesempatan hidup di tengah-tengah keluarga ini. Selalu ada rasa bahagia memiliki keluarganya ini. Dia selau merasa beruntung memiliki orangtua dan kakak yang selalu menjadikannya ratu di antara mereka.

"Ini 'kan keputusan Chika, udah Chika pikirkan matang-matang, sedih nggak apa-apa, Dek, tapi kamu juga harus kasih yang terbaik nanti, ya? Show terakhir, anak Mama harus cantik dan keren."

**

"Ramai ya, Chik?" tanya seorang manager, sesaat setelah ia meletakkan tasnya di meja yang ada.

"Iya, Kak," jawabnya singkat.

Ia mulai duduk, memainkan ponselnya untuk memeriksa notifikasi yang sedari tadi terus menerus bunyi dan belum sempat ia periksa.

"Gimana? Udah siap?"

Dia langsung mendongak saat mendengar pertanyaan dari suara dalam yang ia kenal. Itu Gita. Gita yang ternyata sudah datang lebih dulu dari dirinya.

"Kak Gita! Gue pikir belum ada yang datang,"

"Udah kok. Udah banyak malah, lagi pada di depan," jawab Gita.

Chika hanya terdiam sambil memperhatikan Gita yang sedang memilih makanan yang tersedia dia sana.

"Lo udah makan?"

Romansa Sang GadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang