Mirai

1.4K 69 23
                                    

Bel istirahat telah bunyi dari lima menit yang lalu. Manusia-manusia yang kelaparan pun juga sudah beringsut dengan kecepatan kilat menuju kantin untuk mengisi kekosongan perut. Siapa yang tidak lapar setelah empat jam menerima pelajaran yang sangat menguras tenaga itu. Tidak terkecuali Chika, satu-satunya manusia yang belum juga beranjak dari duduknya.

Dia berulang kali mengecek ponselnya, menggerakkan jarinya dengan lincah di atas layar. Wajahnya terlihat agak kesal. Berulang kali dia mengerucutkan bibirnya, sesekali ia menunduk. Perutnya sudah lapar, tapi orang yang tadi berjanji menemaninya ke kantin, belum datang juga.

Chika mendengus saat ada panggilan masuk ke ponselnya. Dengan malas dia mengangkat panggilan itu.

"Buruan ih, bang! Aku udah laper, tau gitu tadi aku duluan," cecar Chika sewot. Memang sangat berbahaya jika perempuan sudah lapar.

"Haduh, udah laper banget ya? Bentar, ini aku lagi ada tugas, satu soal lagi. Tungguin ya," Lagi-lagi Chika hanya mendengus. Panggilannya ia matikan begitu saja. Sebenarnya Chika bisa saja pergi sekarang, tapi janji tetaplah janji, harus ditepati.

Sedangkan di kelas lain, Vito bin Badrun, orang yang sudah janji dengan Chika tengah kalang kabut. Dia tidak ingin Chika kecewa. Mungkin hanya janji sederhana, janji untuk menemaninya makan di kantin, tapi ini sangat berarti. Dia selalu ingat ucapan Chika, kalau laki-laki itu, ucapannya lah yang harus dipegang.

"Git, tolong kerjain nomor terakhir punya gue ya, please lah, ini gue ada janji sama Chika, takut bocahnya ngamuk,"

"Gak!"

"Pleaseeeee, nanti gue beliin makan kucing buat Oho deh," mendengar janji yang diucapkan oleh Vito, Sigit berbinar. Ia memang sangat menyayangi kucingnya. Menerima tawaran Vito artinya menghemat uang pengeluaran untuk makanan si Oho.

"Boong gue sobek ya, Drun buku tugas lo!"

"Mana pernah ngibul sih gue. Dah ah, bhay!" Vito segera berlari menuju kelas Chika.

Chika masih di posisi yang sama. Kini ia mulai menghentak-hentakkan kakinya jengkel. Lama sekali Vito bin Badrun itu menghampirinya. Sepuluh menit lagi bel masuk akan berbunyi, beberapa temannya pun juga sudah kembali ke kelas dengan senyum sumringah karena perut tak lagi berontak. Hanya Chika yang masih cemberut menahan lapar di perutnya.

"Haduh... nona maaf ya," Chika menatap malas orang di depannya yang tengah mengatur nafas. Chika langsung berdiri meraih uluran tangan Vito agak malas.

Vito tak langsung membawa Chika ke kantin. Ia menahan Chika di depan kelas.

"Apa sih bang, ayo ih aku udah laper banget, keburu masuk," rengek Chika. Vito tak menjawab, ia menyingkap beberapa helai rambut Chika yang jatuh di depan mukanya. Tangannya merapikan rambut Chika yang sedikit berantakan itu. Mendapat perlakukan itu, Chika hanya diam. Dia masih saja gugup jika Vito memberikan perlakuan manis untuknya. Padahal mereka sudah pacaran, wajar jika Vito bertindak manis kepada dirinya.

"Nah, udah rapi, yuk," Vito cukup lihai membuat kemarahan Chika meredam. Hanya dengan perlakukan sederhana seperti ini saja cukup membuat Chika diam dan luluh.

Sepanjang koridor, tangan mereka terus berpaut begitu erat. Tidak ada yang heran, karena pemandangan itu adalah pemandangan biasa. Banyak juga siswa yang melakukannya, jadi ya, biasa saja.

"Jangan marah-marah ya, nanti darah tinggi,"

"Ya kamu kayak daging kambing, bang, bikin darah tinggi," Vito mengacak-acak rambut Chika gemas.

"Ih gimana sih, tadi dirapihin, sekarang diacak-acak. Abis ini aku buat kamu beserak bang," ucap Chika sinis.

"Haha bener-bener ya, kalau udah laper galak betul kayak banteng dioles balsem," Chika hanya memutar bola matanya malas. Malas menanggapi ucapan Vito lagi.

Romansa Sang GadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang