Reuni

1K 66 81
                                    

Tap!

"Hahh..." helaan nafas berat terhembus begitu saja dari lubang pernafasannya. Dia sudah lama tak kembali ke kota ini. Cukup lama.

Sebenarnya dia ingin sesekali kembali. Menengok orang tua dan adiknya, pun mengunjungi teman-temannya. Tapi, dia terlalu payah. Terlalu takut kembali terluka. Luka yang ia buat sendiri. Luka yang akhirnya membuat dia memilih pergi. Pergi melarikan diri.

Ck! Bodoh memang. Dia yang berbuat. Dia yang menyakiti hati dan dirinya sendiri. Dan dia pula yang menyesal di kemudian hari. Bahkan, dia sempat mengutuk lidahnya sendiri. Karena dia sadar, ada hati yang ia lukai akibat tak berhati-hati mengutarakan isi hati, ah tidak bisa dikatakan isi hati, itu hanya emosi.

Jeg-jeg, jeg-jeg wusshhhhhhhhh.. pommmm!

Suara laju kereta diikuti klakson menghiasi gendang telinganya.
Sejak turun dari kereta beberapa menit yang lalu, dia memilih untuk duduk di kursi peron sambil meneguk kopi kaleng yang tadi ia beli dari vending machine.

Entah, dia masih ingin di sini. Masih ingin menenangkan diri, sebelum ia benar-benar kembali.

"Cemen banget gue. Toh, dia gak bakal muncul tiba-tiba di rumah," gumamnya sambil membaca tulisan yang ada di kaleng kopinya.

Vanilla latte. Dia sebenarnya kurang suka dengan rasa ini. Terlalu manis dan harum. Dia agak eneg dengan bau vanilla. Terlalu legit dia rasa.

Tapi, entahlah, sepertinya dia ingin menyakiti hatinya sendiri lagi. Dengan memilih rasa ini, dia jadi teringat akan 'dia'. Dia yang pernah diprotesnya karena miliki wangi vanilla. Parfum vanilla.

*

"Besok kalau nggak ganti parfum, nggak usah lah ini, lendat-lendot begini. Mau muntah aku bawaannya," katanya sambil berusaha melepaskan tangan gadis yang melingkar di lengannya.

"Sensitif banget idung, kek ibu hamil! Emang kenapa deh, sayang? Baunya enak, manis gitu,"

"Kamu udah manis ya, nggak usahlah pakai parfum manis-manis. Mending ganti parfum buah deh! Strawberry kek, anggur kek, pisang, atau jeruk gitu. Kemarin udah enak tuh bau pisang, kenapa diganti sih? Hmm?" dia --Vio, Navio Al-Fadrun terus protes mengenai parfum kekasihnya. Parfum yang baru digantinya seminggu yang lalu. Dan selama seminggu itu, selalu Vio protes.

"Ini tuh dibeliin Kak Aya ya. Udah dikasih, masa nggak dipake. Nggak ada akhlak banget aku sebagai adek,"

"Nanti pulang kuliah ikut aku deh, kita beli parfum pisang. Aku yang beliin! Harus dipake! Beli sepuluh sekalian kalau perlu! Sekalian dah tuh, beli parfum malaikat subuh, cahaya ilahi, Enjelina joli, jastin biber, atau apalah itu, biar kamu nggak pake lagi ini parfum vanilla!" balasnya menggebu-gebu.

"Hahaha mau buka toko parfum, pak?"

"Iye! Besok buka di Condet!"

"Galak amat! Haha ya udah iya iya. Nanti beli. Jadi, ini mau nggak?" gadis itu menyodorkan satu kaleng kopi. "Rasa vanilla, kalau nggak mau, nanti aku kasih ke Kak Febi atau Satya aj--,"

"Sini! Enak banget dua cunguk dapet kopi gra-- tis," ucapanya melirih ketika sensasi dingin bibir kekasihnya mendarat lembut di pipi.

"Diem 'kan? Pendarahan mulu dari tadi,"

"Lagi boleh?"

Cup

*

Kecupan yang selalu gadisnya daratkan di pipi Vio, masih dapat ia ingat sensasinya. Bertahun-tahun, bekas bibir itu seolah tak mau hilang pun menguap. Masih saja terasa menempel di pipinya. Bekas bibir manis dari perempuan yang amat ia cintai. Perempuan yang juga mencintai Vio dengan amat sangat. Perempuan yang kini, takut ia temui.

Romansa Sang GadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang