Love Pain

1.2K 59 86
                                    

Dia harus menahan perih, sedikit lagi. Sebentar lagi. Hmm untuk sekarang. Tapi nyatanya itu akan bertahan beberapa hari ke depan, bahkan minggu. Mungkin. Eh atau iya? Mengingat goresan luka ditelapak tangan kirinya sepertinya cukup dalam. Cukup dalam dan panjang.

Ini, bisa dikatakan hal biasa yang dia dapatkan. Tapi, jalas tidak baik. Dia hampir setiap hari terluka selama sebulan terakhir. Hmm memperoleh luka. Ia memperoleh luka, lebih sering di area bahu, lengan, tangan, dan telapak tangan. Ya karena itu yang terlihat dan gampang tergapai.

"Darahnya belum bisa berhenti. Ke klinik aja ya. Tembus terus ke perbannya,"

"Gak usah, kak. Dilapisin lagi aja," jawabnya singkat.

Mereka tak ada lagi yang bicara. Pandangan mereka sama-sama jatuhk ke telapak tangan yang masih terus dibalut oleh perempuan yang jelas lebih tua dari pada si korban. Terlihat dari bagaimana dia memberikan embel-embel 'kak' untuk menyebutnya.

"Eshhh," rintihnya.

"Maaf ya,"

"Kak Lala udah berapa kali bilang maaf? Ini bukan salah kakak. Dan aku nggak apa-apa,"

Hhhh

Hanya helaan nafas yang dapat Lala keluarkan. Ia tahu, kalimat itu yang akan keluar dari laki-laki ini. Kalimat yang sesungguhnya semakin membuat Lala merasa bersalah. Semakin membuat Lala meresa berhutang budi bahkan mungkin nyawa kepada dia.

Dia --Chiko Tama Rajata, laki-laki yang mencintai adiknya. Laki-laki yang selalu memperjuangkan rasa sayangnya kepada sang adik. Laki-laki yang tak pernah Lala pahami bagaimana kondisi hatinya di dalam sana.

Lala, tak paham. Tak akan pernah paham benar bagaimana kondisinya. Ia hanya sekadar tahu. Hanya sakadar tahu dari mimik mukanya. Hanya sakadar tahu dari sorot mata coklatnya itu. Hanya sekadar itu. Bahkan, itu pun tidak dapat disimpulkan menjadi benar. Dia hanya menerka-nerka.

Sudah selesai. Sudah selesai Lala menjadi tukang balut luka. Tapi tangan itu masih ia tahan untuk tak ditarik sang pemilik.

Tanpa permisi, Lala menarik ke atas lengan baju panjang milik Chiko. Dia terbelalak saat mendapati beberapa luka di sana. Cukup banyak. Bahkan masih ada yang ditutup dengan plaster luka.

"Copot!" Chiko menyirit tidak paham.

"Baju lo copot sebentar. Gue mau liat berapa banyak luka di badan lo!"

Tak ada penolakan. Sejatinya laki-laki itu penurut. Dia jarang menolak permintaan orang-orang. Sekalipun itu permintaan yang mungkin akan membuat dirinya kecewa dan hatinya atau fisiknya sakit. Terdengar bodoh memang, tapi kenyataan menjawab begitu.

"Mulai besok, lo nggak usah nemuin dia. Jangan siksa diri lo, please!" kata Lala penuh iba pada kata terakhir.

Chiko hanya diam. Dia pasrah saat Lala memeriksa badanya. Dia diam, tapi manik matanya terus memperhatikan Lala. Memperhatikan mata Lala yang berkaca-kaca saat memeriksa luka yang ada di tubuh Chiko.

"Tapi gue nggak tau gimana caranya nenangin dia," Lala menyeka air matanya. Dia masih menelisik luka-luka itu. Ada bekas luka gigitan di pundak Chiko. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya menahan ini.

"Biar gue yang tenangin dia, kak," Lala menatap mata Chiko. Mencari kesungguhan dari ucapannya. Ada! Selalu ada. Laki-laki ini selalu sungguh-sungguh dalam ucapannya.

"Sampai kapan? Nyokap lo nggak mungkin nggak curiga liat anaknya setiap balik rumah pasti ada aja plaster luka yang nempel," Lala kembali duduk. Chiko pun kembali memakai kaosnya.

"Kemarin-kemarin lo obatin di mana luka-luka lo?" Lala kembali bertanya.

"Gue obatin sendiri, kak. Kadang dibantu adek gue di rumah,"

Romansa Sang GadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang