7

11.5K 2.4K 414
                                    


Kumpul keluarga itu dilaksanakan di beranda belakang rumah Bentala. Beranda yang panjangnya mencapai tebing dan diberikan pembatas berupa trali besi dengan pola yang sangat unik. Dari sana laut lepas terlihat membentang sepanjang mata memandang. Suara deburan ombang yang menghantam karang beriringian dengan derak pohon kelapa yang tertiup angin. Secara keseluruhan, Bentala menyajikan surga kecil untuk orang-orang yang suka ketenangan.

"Kenapa kamu tampak gelisah?" tanya Khayra pada Surayya. Semenjak tadi sepupunya itu terlihat tak tenang.

"Anak-anak belum datang."

"Kyra dan Birendra?"

"Iya."

"Pasti sebentar lagi, tadi Birendra menelepon sudah dalam perjalanan menjemput K. " Khayra beralih pada suaminya yang tengah menikmati minuman bersama Raga. "Mau tambah cake-nya, Sayang?" tanya Khayra manis.

Bentala memberi gelengan, tapi tatapannya tidak langsung beralih dari sang istri.

Khayra melemparkan tatapan bertanya pada sang suami. Namun, bukannya menjawab, Bentala hanya mengulum senyum kemudian beralih menatap Raga yang memutar bola mata.

"Ya kamu sudah setengah abad dan masih bisa tersipu," goda Surayya melihat pipi sepupunya memerah.

"Memangnya kamu tidak?"

"Kadang-kadang, tapi kami tidak seperti remaja yang sedang jatuh cinta."

"Aku dan Bentala bukan remaja."

"Tepat sekali, tapi perjalanan waktu tidak membuat perasaan berdebar-debar dari kalian hilang kan."

Khayra mengangguk dengan malu-malu. Meski telah hidup berumah tangga selama lebih dari seperempat abad , tapi perasaan Khayra tak sepenuhnya terkendali. Kadang debaran seperti saat malam berbadai itu, muncul ketika menatap suaminya.

"Kamu dan Raga, bagaimana?"

"Apanya?"

"Perasaan kalian?"

"Stabil."

"Maksudmu?"

"Raga itu orang yang suka mendominasi, Yra. Dan dia menyadari hal itu sebagai kekurangannya. Jadi, saat aku mengikuti perintahnya, Raga berusaha menyenangkanku." Surayya tersenyum sayang pada suaminya. "Hubungan kami memang tidak semenggebu di masa lalu, tapi dia memberiku rasa aman dan kasih sayang. Raga selalu membuatku merasa sangat berharga."

"Gol ...!!!"

Teriakan penuh kemenangan itu menghentikan obrolan mereka. Surayya menatap pafa Caraka yang berlari-lari menirukan selebrasi, sementara Auriga tampak jengkel di tempatnya. Hanya butuh beberapa detik sebelum Auriga melesat untuk menumbangkan saudaranya. Mereka berguling-guling di atas rumput. Seperti anak TK yang bertengkar sehabis bermain.

Namun, tidak ada satu orang tuapun yang berusaha menghentikannya. Mereka sudah maklum dengan kelakuan dua pemuda itu.

Saat itulah Birendra dan Kyra muncul. Mereka membawa kue yang telah dibeli. Setelah menicum pipi semua orang, Birendra langsung duduk di meja depan hidangan besar. Dia mencomot satu paha ayam dan memakannya dalam waktu singkat.

"Birendra Daya Agung, apa yang Bunda katakan soal mencuci tangan?"

"Maaf, Bunda. Saya lupa."

"Cuci tangan dulu, Nak. Nanti kamu sakit perut gara-gara kuman."

Birendra menahan senyum, andai ibunya tahu seperti apa cara makannya saat sedang pendidikan dulu. Kuman, adalah hal terakhir yang harus dikhawatirkan.

"Mama membawakanmu baju ganti, Princces."

Titik TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang