09

10.4K 2.5K 256
                                    

Inak apdetnya sore soalnya agak kurang sehat, huhu. Doain Inak biar lancar nulisnya ya. Biasanya emang kalo lagi nulis konflil/klimaks, Inak suka atit. 🤧

💋💋💋

Bajingan itu keluar dengan wajah puas. Celana levisnya belum terkancing sepurna. Bulu-bulu disekitar perutnya terlihat karena kemejanya sengaja tak dikancing.

Lelaki itu duduk di sofa berlapis kulit hewan. Kakinya naik ke atas meja, sementara lengannya digunakan sebagai bantalan saat bersandar. "Dia hebat sekali," pujinya merujuk pada gadis yang kini terbaring pingsan di lantai kamar.

"Kamu tidak sampai membunuhnya kan?"

Lelaki itu tampak tersinggung atas pertanyaan kakaknya. "Tidak. Aku kan hanya menidurinya."

"Kamu juga mencekiknya."

"Dia punya leher yang indah. Pasti bagus kalau ada warna ungu di sana."

Lelaki satunya, yang semenjak tadi memegang cerutu langsung melepasnya di asbak tanpa minat. Dia memang menikmati wanita, gadis-gadis muda. Dirinya memuja mereka. Pemujaan dengan mencicipi sepuasnya. Namun, adiknya sedikit berbeda. Seleranya tidak sekedar gadis-gadis muda. Selera yang juga membuat adiknya tidak puas hanya dengan menikmati mereka secara normal.

Lelaki itu tahu bahwa adiknya tidak menyesal melakukan itu dan tidak akan bisa menghentikannya. Karena itu sebaik mungkin, dirinya berusaha membantu menutupi jika adiknya sedang kambuh.

"Asal jangan mati, dia dari lokalisasi. Kalau sampai mati, Raga akan mencari hingga ke akar-akar."

"Bah! Kamu masih takut pada bedebah tua itu?!"

"Jaga bicaramu, Dik. Jangan berani-berninya meninggikan suara padaku."

Bangsat yang dipanggil adik itu langsung menegakkan tubuhnya. Rasa bersalah terlihat di wajahnya, meski dalam hati dirinya mencibir. Kakaknya memang pengecut, selalu begitu. Tidak pernah berani melakukan sesuatu hingga selesai. Lelaki itu yakin, itulah alasan utama kakaknya tidak pernah benar-benar meraih sukses.

Namun, dia bisa apa? Dia hidup di bawah atap kakaknya. Tanpa lelaki itu, dirinya bukan apa-apa. Jadi meski sering dibuat kesal, dia harus bertahan.

"Maafkan aku, Kak. Hanya saja, ayolah ... dia sudah tidak muda lagi. Kenapa kita harus takut padanya?"

"Karena dia masih memiliki Bentala."

"Si hantu jalanan yang juga sudah tua itu?"

"Meski tua, dia masih bisa membuat tubuhmu menjadi potongan kecil dalam waktu singkat."

Lelaki itu mencibir. Dia memang pernah mendengar tentang kehebatan dua sekawan itu. Tapi itu kan dulu, dua puluh tahun yang lalu, jauh sebelum mereka pindah ke kota ini.

"Dan jika itu belum membuat otak sintingmu sadar, kamu harus tahu bahwa di belakangnya ada dua putranya, Caraka dan Auriga. Mereka memang masih muda, tapi mereka mesin pembunuh. Belum lagi, anak perempuannya."

"Yang lezat itu?"

"Sialan,Dik! Jauhkan matamu darinya atau dia sendiri akan mencongkelnya, tanpa bantuan sang Papa."

"Aku tidak percaya."

"Bedebah sombong! Kapan kamu akan sadar bahwa bersikap semaumu bisa mendatangkan masalah?"

"Masalah yang mana? Aku tidak lihat tuh. Kau terlalu paranoid, Kak? Ingat saat kau hampir kencing melihat aksi karyaku, katamu aku tidak akan selamat, nyatanya sampai sekarang aku masih bersenang-senang."

"Itu karena aku harus turun tangan membereskan semua kekacauan yang kamu cipatkan, bangsat!" Lelaki itu menggebrak meja. Dia tidak akan lupa ketololan yang diciptakan adiknya terakhir kali. Keteloloan yang menyeretnya karena saat terlalu mabuk dan tak bisa menguasai diri.

Titik TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang