17

9.7K 2.4K 251
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


💋💋💋





















Lelaki itu memukul-mukul dadanya. Dia berbaring di lantai, disaksikan oleh empat orang anak buahnya yang merasakan ngeri juga marah. Mereka para bajingan yang harus menahan bulat-bulat kepahitan karena kepengecutan.

Lelaki itu meraung hingga suaranya hampir habis. Air matanya menetes di lantai. Kesakitannya kali ini sangat dahsyat. Dia merasa gila karena tak tahu cara menguranginya.

Lama sekali hingga akhirnya tangisnya mereda. Lelaki itu kini terlentang, mentap ke arah bohlam yang memancarkan warna kuning redup, menciptakan remang-remang pada pagi  suram itu. Langit-langir ruangan itu jelek sekali. Berbeda dengan rumahnya. Ada sarang laba-laba di pojok barat dan selatan, menunjukkan seberapa jelas tempat ini tak terawat.

Namun,  penampilannya yang bobrok memberikan nilai tambah. Meski tempat ini tampak dan memang benar terbengkalai, penampilannya memberikan kemanan. Tak seorangpun akan curiga ada pondok di tengah hutan hujan yang lebat ini. Pondok yang selalu menjadi tempat untuk menyelesaiman atau lari dari masalah.

"Bos ...."

Lelaki itu tak bergerak, tak berkedip. Dia terus menatap bohlam dan berharap sinarnya yang payah bisa membutakan. Apa yang lebih baik dari pada tak mampu melihat dunia yang tak lagi mau dilihat?

Kakaknya sudah pergi, tewas. Bangsat itu memilih menjadi martir untuk menyelamatkan lehernya. Itu tidak benar.  Dia tak ingin hidup jika saudaranya mati.

Jasadnya tak ditemukan. Anak buahnya yang menyelinap ke kota mendapatkan informasi itu. Semua orang membicarakan peristiwa itu di kota dan berkata buruk tentang kakaknya. Bahwa saudaranya yang menyayanginya itu pantas mati karena idiot berani menentang Raga.

Keparat! Bagaimana bisa itu terjadi? Harusnya masih ada yang tersisa dari pria yang selalu menyayanginya itu bukan? Dan penduduk kota jahanam itu seenaknya saja berbicara. Mereka tak tahu apa-apa.

"Bedebah itu pasti membakarnya di suatu ," bisik lelaki itu dengan pandangan kosong.

Salah satu anak buahnya mendapat tugas untuk menjawab. Dalam situasi normal saja, adik bos besar mereka itu sudah cukup gila, apalagi sekarang saat semua yang dimilikinya lenyap tak bersisa.

"Mayatnya tidak ditemukan, Bos."

"Tidak ditemukan .... Tidak ditemukan .... Bagaimana bisa?" Dia sudah mempertanyakan hal itu lebih dari seratus kali semenjak berita tentang pembasmian terhadap saudara juga anak buah mereka didengar subuh tadi.

Seandianya saja dia tak pergi. Sungguh lelaki itu lebih memilih mati bersama kakaknya dari pada menanggung penderitaan ini. Sejak kecil hanya kakalnya lah yang dia miliki.

Kakaknya tidak bersalah. Mereka tidak bersalah. Jalang mungil itulah yang mencari masalah hingga dia bereaksi. Andai saja dia tidak megendus-ngendus tanpa henti, maka lelaki itu tak akan pernah mengambil tindakan seperti semalam. Memerintahkan  enam orang preman untuk memberi pelajaran pada jalang sok berani itu.

Titik TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang