Helaan napas terdengar begitu lirih, keluar disela kedua bibir Rahmania. Wanita muda itu mendesah menatap deretan angka yang terpampang di layar ponsel miliknya. Aplikasi mobile banking yang sedang Nia buka, menampilkan sekian banyak uang yang baru saja masuk ke dalam rekening bank miliknya.
Antara senang juga sedih Nia rasakan. Senang karena seumur hidupnya, ia tak pernah mempunyai uang ratusan juta. Sedih, karena uang yang jumlahnya mencapai dua ratus juta rupiah itu adalah uang pesangon yang diberikan oleh perusahaan tempat ia bekerja. Bulan ini adalah bulan terakhir Nia bekerja.
Bukan keinginannya untuk berhenti bekerja, melainkan karena kebijakan perusahaan yang sedang mengurangi jumlah karyawan. Kondisi proyek yang semakin menurun drastis sehingga menyebabkan keuangan perusahaan terganggu. Oleh sebab itulah, perusahaan asing di mana selama tiga belas tahun ini menjadi tempat bernaung Nia dalam mencari nafkah, dengan terpaksa harus mengurangi jumlah karyawan jika tidak ingin perusahaan collaps saat itu juga.
Nia adalah salah satu karyawan yang beruntung mendapat pesangon, karena ia terkena dampak Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh perusahaan. Jujur, ini adalah hal terberat yang harus Nia jalani. Terlebih baru empat bulan lalu Nia melahirkan anak ketiganya.
Di satu sisi, Nia masih membutuhkan pekerjaan agar setiap bulan ia bisa mendapatkan penghasilan untuk menopang biaya hidup keluarganya. Namun, disisi lain sejak kelahiran anak ketiganya, Nia merasa kerepotannya bertambah luar biasa.
Dia hanyalah seorang ibu dari tiga orang anak, yang selain sebagai wanita karir juga sebagai ibu rumah tangga. Nia mengurus semuanya tanpa bantuan seorang Asisten Rumah Tangga. Mengurus rumah, memasak serta merawat ketiga anak lelakinya seorang diri.
Setiap pagi saat Nia harus berangkat bekerja, maka dengan terpaksa dia harus menempatkan anak kedua dan ketiganya di sebuah daycare. Sementara anak pertamanya yang sudah berusia sepuluh tahun, akan dibawa oleh mobil jemputan untuk diantar ke sekolah. Jam sekolah anak pertama Nia yang fullday sehingga baru jam empat sore, Raka, nama anak pertama Nia, baru sampai di rumah. Sedangkan Reza dan Rafi, akan dijemput oleh Nia saat ia pulang bekerja.
Huft ... embusan napas berat meluncur begitu saja, membuat Diah yang duduk di samping meja kerjanya menoleh menatap Nia. Diah adalah teman satu divisi dengan Nia, dimana wanita berusia tiga puluh lima tahun itu juga sama seperti Nia, mendapatkan pesangon sebagai kompensasi pemutusan hubungan kerja yang perusahaan lakukan.
"Ni, kita harus ikhlas dan sabar. Semoga kita lekas mendapat pekerjaan baru, ya," ucap Diah memberikan motivasi pada Nia juga untuk memotivasi dirinya sendiri.
"Iya, tapi entahlah rasanya aku sedih sekali harus berpisah dari kalian semua."
"Aku pun sama. Pasti aku akan sangat merindukan momen-momen di mana kebersamaan kita selama ini."
Keduanya dengan mata berkaca-kaca saling melemparkan pandangan, dan detik selanjutnya Diah serta Nia sudah berpelukan.
***
Jam makan siang, beberapa karyawan yang jumlahnya tak lebih dari seratus orang, tengah menikmati makan siang di kantin kantor. Siang ini topik pembahasan mereka tak jauh-jauh dari seputar PHK yang akan perusahaan buat. Tentu banyak yang merasa sedih karena harus kehilangan pekerjaan. Dan bagi karyawan yang masih terselamatkan sehingga masih bisa bekerja, juga merasa sangat kehilangan rekan kerja mereka.
Sekitar dua puluh lima persen dari seluruh total karyawan yang merasakan imbas dari dampak terpuruknya perekonomian negara. Mereka harus rela kehilangan mata pencaharian utama yang dapat menghidupi keluarga.
"Mbak Nia, apa rencanamu setelah ini?" tanya Nindi, rekan lain divisi yang juga sama-sama harus menerima keputusan perusahaan yang memilih mem-PHK-nya.
Nia menggeleng lemah. Sungguh dia tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Pikirannya buntu dan dia belum memiliki planning yang matang untuk rencana hidupnya ke depan. Tak terbiasa menjadi seorang pengangguran, tentunya membuat Nia sangat bimbang akan berbuat apa. Jika ia mencari pekerjaan baru, dia tak yakin dia bisa melakukannya. Selain karena faktor usia yang tak lagi muda, sehingga kinerja otaknya juga tak secemerlang para anak muda fresh graduated.
Ditambah lagi jika mencari pekerjaan baru, maka Nia harus mulai membangun pondasi baru dalam karirnya. Dan itulah yang membuat Nia tidak yakin dia mampu.
Jujur, Nia sudah sangat lelah tenaga juga pikirannya untuk mengurus keluarga.
"Mungkin sementara, aku akan menikmati peranku sebagai ibu rumah tangga saja," jawab Nia singkat dengan pikiran menerawang.
"Kau tak mau mencari pekerjaan baru, Ni?" tanya Diah yang duduk di sampingnya.
Nia mengedikkan bahu. "Entahlah. Aku belum terpikir sampai di situ. Lagipula, mencari pekerjaan baru dalam kondisi seperti ini sangatlah sulit. Dan aku tak yakin bisa melakukannya."
Setelah mengatakan itu, Nia kembali menekuri makanannya dengan pikiran berkecamuk.
"Andai aku mendapat pesangon sebanyak punyamu, Nia. Mungkin aku lebih memilih berwirausaha saja. Sayangnya pesangonku hanya sedikit. Mana bisa buat buka usaha," celetuk Diah pada akhirnya.
Nia hanya tersenyum. Memang tak dapat disembunyikan olehnya jika masa kerjanya yang bisa dikatakan paling lama dari rekan-rekannya, bisa dipastikan jika pesangon yang Nia terima pastilah lebih banyak.
Diah yang baru bekerja lima tahun sementara Nindi pun juga masa kerjanya selisih beberapa bulan saja dengan Indah. Sedangkan Nia, sejak wanita itu lulus kuliah hingga sekarang berusia tiga puluh lima tahun dan memiliki tiga orang anak, masih saja betah bekerja di perusahaan tersebut. Tiga belas tahun bukanlah waktu yang singkat bagi Nia dalam berkarya. Dan selama tiga belas tahun itu pula, perusahaan menjadi rumah kedua baginya.
"Benar juga apa yang kamu katakan. Kenapa aku tidak terpikir untuk berwirausaha saja. Tapi usaha apa yang sekiranya cocok buatku. Selain itu, aku bisa juga sambil mengurus anak-anak."
Nia jadi kepikiran tentang usaha apa yang cocok untuk pemula seperti dirinya.
"Kalau Mbak Nia mau buka usaha, sebaiknya dipikirkan kembali masak-masak. Kira-kira usaha apa yang sesuai dengan passion Mbak Nia. Jangan sampai karena Mbak Nia grasa grusu sehingga salah pilih bidang usaha. Kan, sayang duitnya Mbak, jika harus hilang tanpa hasil. Karena bagaimanapun juga uang pesangon yang kita dapat harus bisa kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya," tutur Nindi kemudian.
Nia tersenyum menatap Nindi yang telah menceramahinya panjang lebar. Nia salut akan pemikiran Nindi yang selalu penuh perhitungan dan planning yang matang.
Tak heran meski Nindi masih muda, baru dua puluh tiga tahun. Dan beberapa bulan yang lalu baru saja menikah. Karena keuletannya selain menjadi karyawan, di rumah pun Nindi juga memiliki sebuah toko kecil-kecilan sebagai usaha sampingan. Bisa menjadi kesibukannya setelah sepulang bekerja. Dan sepertinya Nia patut mencontoh rekannya itu.
###
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHMANIA (Terpaksa Menikah Dengan Majikan)
RomanceKetika suami tidak dapat dipertahankan lagi, Rahmania memilih berpisah. Namum, siapa sangka jika ketiga anaknya pun ikut diambil oleh sang mantan suami. Di tengah keterpurukan, Rahmania mencoba lari dari kenyataan pahit akan perjalanan hidupnya. Mem...