DIUSIR DARI RUMAH MEWAH

4.1K 85 1
                                    

# Batal_Cerai
#Bab_4

Setelah akad nikah dan pesta pernikahan, Opa ternyata benar-benar membaik. Sehat seperti sedia kala. Oh, Tuhan. Apakah ini candaan? Apakah Opa hanya membohongiku dengan sakitnya?

"Opa sangat senang dengan pernikahanmu, Aldo. Jadi segera sembuh," ucapnya sambil menepuk pundakku.

Aku mengangkat sudut bibir dengan malas.

Kabar buruk ternyata belum berakhir. Setelah pesta usai dan aku akan memasuki kamarku, aku terkejut sebab terkunci. Coba kubuka dengan kunci pribadiku. Berulangkali. Gagal. Why? Ada masalah dengan pintu atau kunci kamarku ini?

"Kunci kamar itu sudah diganti dengan yang baru. Itu bukan lagi kamarmu. Kamu tidak boleh lagi tinggal di rumah ini, Aldo. Semua cucu Opa yang menikah harus meninggalkan rumah ini. Kalian harus bisa hidup mandiri."

Oh ya? Aku ternganga dengan menggelengkan kepala tak percaya. What? Aku dipaksa menikahi gadis desa dan diusir juga dari rumah mewah nan megah ini?

"Ya, kalian harus memulai hidup baru bersama. Membangun rumah tangga. Proses itu akan lebih cepat terlaksana jika kalian hidup mandiri. Tenang saja, kalian tetap dibantu oleh pembantu. Satu orang pembantu saja okey? Itu cukup." Opa kembali memutuskan semena-mena.

"Mami dan Papi tetap tinggal di rumah ini padahal mereka sudah menikah." Aku berkelit, membela diri. "Kenapa Opa tak mengusir mereka juga?" Emosiku terpancing. Meski aku tahu, harus kutahan kuat-kuat di hadapan Opa.

"Papimu itu putra Opa satu-satunya. Tidak ada yang lain. Kalau mereka pergi, Opa kesepian. Beda denganmu. Saudaramu banyak. Dan semua belum menikah. Alfin, Alex, Angga. Lagipula, kalau kamu mau, silakan tinggal di rumah orangtua Miranda," seloroh Opa seenaknya.

Apa? Tinggal di rumah mertua? Di desa? Gila! Mana mungkin aku mau.

"Banyak pilihan. Bisa tinggal di rumah orangtua Miranda, di rumah lain, atau apartemen. Jangan dipersulit." Opa kembali bicara seolah bijak sekali dengan pilihan itu.

Bicara yang tak bisa dibantah. Fiuh. Aku tahu, sia-sia membantah dan menawar. Yang ada aku malah semakin menjadi objek ditertawakan oleh para lelaki itu. Saudara-saudaraku yang tak tahu diri dan berjajar di pagar balkon menonton kesialanku.

"Koper pakaianmu dan Miranda sudah diantar ke bawah. Silakan pergi sekarang, Aldo. Kamu dan Miranda bisa bertamu ke sini kapan saja. Asal tidak menginap. Yah, bolehlah sesekali." Opa memberikan instruksi terakhir sambil berjalan menjauh di lantai atas yang luas. Melewati tangga-tangga berlapis beludru mewah.

Dan kemewahan rumah ini harus kutinggalkan sekarang. Sudahlah diusir, diusirnya bersama perempuan aneh itu pula. Aduh.

Aku menyeret langkah dengan malas. Diiringi Miranda yang mengikuti saja tanpa sepatah katapun bertanya. Dasar pasif. Sepertinya, walau kubuang di jalan pun dia akan diam saja.

Kututup pintu mobilku sebelum ia masuk. Dan dia hanya memandang dalam diam sampai aku menyalakan mesin dan melajukan mobilku. Sampai, Opa keluar dan... Oh, Tuhan. Aku tahu yang harus kulakukan jika tak ingin mengundang kemurkaan Opa. Kembali. Pergi berdua dengan perempuan aneh itu.

Alfin, Alex, dan Angga tertawa-tawa menontonku di atas balkon. Awas saja mereka.

Aku memundurkan mobil dan membiarkan Miranda masuk. Di kursi sebelah dudukku. Pada mobil mewahku ini. Semoga saja dia tidak udik.

Lalu mobil kembali kulajukan, melesat, melaju menuju apartemen. Tanpa sepatah kata dan sapa pun. Aku hanya diam. Dia juga. Apa yang perlu dibicarakan dengan gadis desa sepertinya? Paling hanya lulusan SMA, SMP atau bahkan tak sekolah jangan-jangan. Seberapa wawasannya? Paling hanya seputar sawah, ternak, dan kebun. Pembicaraan yang pasti membosankan. Jadi, lebih baik tiga bulan ini kami saling diam. Ya, hanya tiga bulan, setelah itu aku akan melepaskannya. Menceraikannya lalu hidup bebas dengan kesempurnaan hidup seperti sebelum pernikahan sialan ini.

Mobilku berhenti di sebuah gedung apartemen. Aku keluar lebih dulu, memanggil security untuk menarikkan koper pakaianku. Hanya koper pakaianku, tidak dengan tas besar pakaian perempuan itu. Biarkan dia mengangkat sendiri. Itu hukuman. Kuperingatkan hal itu pada security yang ingin membantunya. Biarkan saja. Supaya dia tahu rasa dan cepat-cepat mengadu pada Opa atau orangtuanya kalau ia tak betah jatuh istriku. Ya, meminta pisah lebih dulu. Bahkan sebelum tiga bulan itu berlalu. Jadi aku bisa lebih cepat bebas darinya.

Apartemenku ada di lantai 27. Sangat jauh kan kalau harus mengangkat tas besar itu sendirian? Apalagi tas itu sepertinya cukup berat. Siapa suruh, niat sekali tinggal dan hidup denganku dengan membawa pakaian sebanyak itu. Dia kira aku suka apa menikah dan harus tinggal dengannya begini.

Kututup segera pintu lift sebelum kakinya ikut melangkah masuk. Lalu kuhentikan langkahnya dengan satu petunjuk tangan.

"Lantai 27 no 297. Naik lewat tangga, jangan pakai lift atau eskalator!" titahku sebelum pintu lift tertutup.

Kulihat ia sempat mengangkat muka. Matanya mengerjap dan dia... mengangguk.

Apa? Mengangguk?

Heh, sudah kuduga, dia pasti begitu udik. Terpesona dengan bangunan mewah ini. Lumayan kan, untuk kasta sepertinya, bisa melihat-lihat bangunan semewah ini. Tinggal di salah satu kamarnya pula.

Tapi lihat saja, apakah dia masih akan sanggup berdiri setelah sampai di pintu apartemenku? Atau malah menyerah di setengah perjalanan dan menangis-nangis menelepon orangtuanya, menggugat cerai? Itu akan jadi berita baik untukku. Baru hari pertama, aku bisa bebas darinya. Kalau dia yang menggugat cerai, mana bisa Opa memaksa.

Aku tertawa penuh kemenangan saat bel tanda tiba berbunyi.

Ting.

Nasib Sultan ya begini. Hidup serba enak. Mau ke puncak gunung eh puncak gedung juga, tinggal tekan tombol lift, sekejap, sampai. Beda dengan nasib gadis desa. Mau naik ke atas harus menaiki tangga manual. Biar tahu rasa.

Tapi ini, apa ini di lantai 27? Sepertinya bukan. Aku berdiri di muka lift yang baru saja tertutup dan menatap liar ke sekeliling. Mengamati. Ya, ini baru di lantai sepuluh. Kenapa lift berhenti di sini? Padahal tadi isinya hanya aku sendiri.

Aku berbalik dan menekan tombol masuk lift lagi. Tidak bisa. Berpindah ke lift satunya lagi. Sama, tidak bisa. Why?

Kupanggil security di lantai itu dan langsung menghadapku. Bertanya, soal lift ini. Ada apa?

Lelaki bertubuh tegap yang kutanya mengangguk dengan raut penuh penyesalan.

"Maaf, Tuan. Liftnya gangguan. Makanya langsung terstop di lantai 10 ini," jawabnya mengejutkanku.

"Apa?!"

Ia mengangguk takut-takut, penuh penyesalan dan sekali lagi memohon maaf.

Oh, sial!

"Kalau begitu tunjukkan, dimana letak eskalator!" Suaraku membentak, naik ke ubun-ubun.

Ini apartemen pribadiku. Kadang aku datang ke tempat ini sekedar untuk rehat sejenak. Tapi selalu naik lift, mana pernah aku mau naik eskalator. Sangat tidak praktis. Tapi mau bagaimana lagi sekarang? Terpaksa kan jadi naik tangga listrik itu.

"Di sana, Tuan. Tapi... mohon maaf, Tuan. Eskalatornya sedang tidak bisa dipakai juga. Em, saluran listriknya konslet."

"Apa?!"

Ia mengangguk sekali lagi, usai kumarahi. Kembali mengucapkan maaf.

"Aku bisa tuntut pelayanan di apartemen ini!" ancamku.

Lelaki itu bergeming dangan pandnagan pasrah. Seakan mengatakan, sehebat apapun aku mengancam sekarang, tetap saja lift dan eskalator sedang rusak. Masih diperbaiki. Entah kapan baru selesai.

"Beritahukan dengan apa aku bisa sampai di lantai 27 sekarang?" tanyaku dengan pandangan sinis menuntut jawaban terbaik.

"Satu-satunya cara. Ya, naik tangga manual, Tuan."

Apa?! Oh, sungguh sial. Baru hari pertama saja aku sudah demikian sial. Bagaimana besok-besok?

.
.
.

Bersambung

Batal Cerai (Kukira Wanita Nelangsa, ternyata Bidadari Surga) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang