CIUM TANGAN

6.3K 148 27
                                    

Aku berjalan dengan langkah panas di sepanjang koridor. Hingga tiba di depan apartemenku dan memencet bel di pintu.

Satu menit, tak pernah membuatku menunggu lama, ia sudah membukakan pintu dengan sigap dan seperti kemarin-kemarin, segera mengambil tas kerja yang kupegang. Membawanya masuk lebih dulu.

Dua langkah ia masuk. Hening.

"Miranda!"

Panggilanku yang keras dan tajam menghentikan langkahnya. Dan ia segera berbalik.

"Ya?" Tanyanya dengan suara halus.

Ya, halus. Halus dan tulus. Langsung menusuk ke dalam sini. Selalu seperti itu. Padahal aku sedang ingin marah-marah. Marah padanya karena tadi berdekat-dekat dengan Bagas. Marah padanya karena tidak terbuka tentang dirinya. Marah padanya kenapa tidak bilang dimana dia kuliah sebenarnya.

Marah padanya kenapa... kenapa dia tidak mengemis-ngemis padaku. Seperti perempuan-perempuan yang lain. Marah padanya yang tidak pernah memintaku mengantarkan ke kampus. Marah atas segalanya. Aku marah sekali. Sangat marah.

Tapi alasan mana yang paling bisa kuajukan sebagai dasar untuk benar-benar marah?

"Ya?" Ia mengulangi. Menunggu di depanku. "Hem?" Matanya mengerjap.

Aku memalingkan wajah saat merasakan rasa hangat menjalar di pipi dan menyebar hingga daun telinga. Saat melihat tatapannya. Benar-benar gadis desa penguji nyali.

Aku benci sekali seperti ini. Benci ketika ingin marah tapi tak memiliki alasan kuat untuk itu. Walau bagaimanapun, aku bukan sosok tolol yang bisa marah tanpa alasan. Semua kemarahanku selalu memiliki alasan yang membuat siapapun tak bisa melawan. Aku marah di atas kebenaran yang sudah kufikirkan matang-matang.

Perasaan apa sih ini? Rasanya kacau sekali. Membuatku ingin marah tapi di sisi lain ada yang menarikku untuk melemah. Rasanya asing, tapi tak membuatku ingin berpaling.

Buntu. Kulangkahkan kaki dengan langkah jenjang dan raut datar, melewatinya. Membuka pintu kamarku dan segera masuk.

"Kak." Akhirnya ia memanggil. Menatapku dari jarak tiga meter.

"Kenapa? Mii ada buat salah ya? Maafin ya kalau ada?"

BRAKK.

Kututup pintu kamar keras dan meremas keningku sesaat kemudian. Menyandar di daun pintu. Menetralkan rasa bergetar yang membuatku ingin... aku tak tahu apa yang kuinginkan.

Kenapa sikapnya itu melemahkanku?

.
.
.

Pagi. Aku baru selesai mandi dan mendapati kamarku sudah tertata rapi kembali. Lantai mengkilat dan menguarkan wangi segar yang begitu memanjakan penciuman. Juga sprei dan gorden yang baru diganti.

Beranjak, kuambil baju yang sudah tersedia di sudut ranjang. Mengenakan kemeja dan menyampirkan dasi di sekitar leher. Ya, hanya menyampirkannya. Sejak ada Miranda, memasang dasi ini menjadi tugasnya.

Aku melangkah ke meja makan yang sudah tertata sarapanku. Dan dia duduk di seberang meja menghadapi sarapannya. Jelas beda, di hadapanku ditatanya makanan dan minuman restaurant yang diolah oleh chef profesional. Sedangkan di depannya, apa itu? Segelas air putih dan sepiring nasi goreng dengan telur goreng mata sapi yang sepertinya lumayan.

Kenapa dia tak menawariku sih? Ya, aku tahu jawabannya, karena sejak awal aku yang bilang agar dia jangan memasak untukku dan jangan menawariku masakannya, sebab aku tak bisa memakan makanan desa.

Biasanya juga begitu, setiap hari, dia memakan masakannya sendiri dan aku dengan makanan seleraku.

Tapi kan, harusnya dia tetap menawarkan walau terus kutolak. Harusnya dia tetap menyediakan masakannya meskipun akan kubuang. Seperti para wanita yang mengejar-ngejarku itu. Sampai tak tahu malu berebut bergantian menghadiahiku rantangan makanan. Hanya agar aku bersedia menyicip masakan mereka. Walau berkahir dengan penolakanku dengan membusungkan dada atau malah menghina rasanya. Lalu tetap teguh mecoba demi mendapatkan penilaian baik dariku. Mestinya, dia juga seperti itu.

Batal Cerai (Kukira Wanita Nelangsa, ternyata Bidadari Surga) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang