"Hey, Anda! Ngapain anda marah-marahin istri saya?!" Pria berkoko putih yang rupanya suami dari wanita bercadar di hadapanku ini mendekat.Duh, mati! Ini sih malu-maluin banget. Walau posisiku salah sangka, salah orang, tetap saja aku mudah disalahkan. Apalagi ini di tengah banyak orang. Walau aku pasti lebih kaya dan lebih segalanya darinya, tetap saja posisiku kini lemah.
Bisa saja dia menghantamku dan aku tak mungkin tinggal diam. Lalu terjadi keributan yang tidak perlu. Mencoreng nama baikku. Argh!
Apalagi saat ujung mataku sempat menangkap beberapa pengunjung yang melintas dan 'tertarik' lalu segera mengeluarkan handphone. Mengarahkan kamera ke arahku. Dasar warga negara udik ini. Melihat nyaris pertengkaran terjadi bukannya bersimpati malah mencari kesempatan. Setelah ini, bisa viral. Warganet sekarang lebih mengerikan dari wartawan.
Shit! Ini akan berdampak buruk bagi nama baik perusahaan dan keluarga Amagatta. Tak biasanya aku tak membawa pengawal pula. Jadi mustahil mencari pertolongan.
Aku menarik nafas untuk menetralisir emosi, rasa malu, dan mengkondosikan keadaan sekaligus. Bagaimanapun aku tak akan bertindak bodoh di tempat ini.
Langkah pria itu menghampiriku dengan deru nafasnya yang terdengar memburu. Ia juga menggunakan kacamata hitam besar seperti istrinya. Tidak, tidak terlihat seperti pemuda usia belasan. Jelas terlihat sebagai pria dewasa. Entah apa yang terjadi pada mataku tadi sehingga salah lihat semua.
Tapi setelah benar-benar tiba di hadapanku, beberapa langkah, ia terdiam.
"Pak Aldo?" Tanyanya terkejut sambil membuka kacamata hitam.
Eh.
Aku melebarkan mata tak kalah terkejutnya. Menyadari ia menyebut namaku barusan.
"Pak Daud?"
Ya Tuhan. Pak Daud? Dia ini rekan bisnis lamaku. Hubungan bisnis dan pertemananku dengannya cukup baik selama ini. Dia pemilik beberapa perusahaan yang kerap bekerjasama dengan perusahaan Opa yang kutangani.
Maka bisa ditebak sikap tegangnya barusan langsung mencair begitu saja. Apalagi setelah kujelaskan singkat tentang salah orang dan salah sangka barusan.
Orang-orang yang menonton bubar sambil ber 'huuu' panjang. Seakan kehilangan tontonan menarik yang menjadi hiburan sore di mall besar kota ini. Aneh sekali warga negeri ini. Katanya cinta damai tapi hobinya dengan keributan.
"Jadi Pak Aldo kira istri saya ini istri Pak Aldo? "Ya ya ya. Kebetulan sekali pakaian mereka sama persis juga." Tanyanya diiringi tawa renyah.
"Dan Pak Aldo cemburu berat karena mengira istri Pak Aldo jalan dengan lelaki lain? Wah wah." Ia tertawa lebih renyah.
Hits. Apa? Aku? Cemburu pada Miranda? Yang benar saja.
Ia lalu merangkul pundakku menuju sebuah restaurant. Tertawa geli sekali.
Sebenarnya aku tidak lapar dan Miranda pun baru saja makan tapi demi mengikis rasa malu tadi, kuturuti saja ajakannya. Walau tidak makan, memesan minum saja.
Pasangan suami istri di hadapanku ini tertawa. Ya, mereka berdua duduk di hadapan meja dan aku duduk bersisian dengan Miranda.
"Masya Allah, saya nggak nyangka, jadi Pak Aldo hijrah juga dan sudah menikah? Undangannya nggak ada sampai loh. Private ya?" Pak Daud merangkul istrinya sambil tersenyum lebar. Istrinya melepaskan kacamata hitam yang sejak tadi dipakainya. Kalau begitu, baru terlihat jelas, ia bermata sipit dan bulu matanya tidak selentik milik Miranda.
Sesaat kemudian aku merutuk sendiri dalam hati, kenapa aku jadi pemerhati bulu mata begini sih? Nggak penting banget. Atau jangan-jangan Miranda ini menggunakan bulu mata palsu yang sering dibicarakan dan dipakai Liva serta para karyawati? Yang mereka bilang sebagai bulu mata anti badai itu? Ya, bisa saja. Kalau tidak, mana mungkin bulu matanya sepanjang, selebat, dan selentik itu. Dasar gadis desa, nanti harus kupastikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Batal Cerai (Kukira Wanita Nelangsa, ternyata Bidadari Surga)
General FictionAldo Amagatta, seorang cucu konglomerat yang sombong dan angkuh tingkat dewa, terpaksa menikahi seorang gadis desa sebagai permintaan tak terbantah sang Opa. Miranda, gadis cerdas bercadar asal desa yang sholihah dan rendah hatinya luar biasa. Tapi...