BULU MATA LENTIK

5.4K 109 6
                                    

# Batal_Cerai
# Part_8

Aku segera berpaling saat ia membuka cadarnya sebelum sholat. Untung nggak sempat terlihat, wajahnya. Gerakan refleks dan cepatku ini memang tak ada duanya. Tubuh dan jiwaku selalu berkolaborasi dengan baik, cekatan.

Huh, hampir saja. Bukan apa-apa, kalau aku melihat wajahnya yang pasti 'nggak banget' itu, aku tak yakin bisa bertahan di dalam pernikahan sialan ini sampai tiga bulan ke depan, batas waktu kami diijinkan bercerai. Dan jika mundur dari pernikahan ini sekarang, sama artinya dengan mempertaruhkan kehormatan serta mengundang kemurkaan Opa.

"Kamu nggak ngerti? Sudah kubilang jangan pernah buka cadar di depanku!" Aku menekan suara dengan sangsi. 

"Oh, kirain tidur. Em, kan mau sholat, ya nggak pakai cadar." Ia menjawab. Mungkin sekarang sedang tak memakai cadarnya, sedang melihat ke arahku sepertinya. Dari suaranya terdengar begitu.

"Ya jangan ngadep sini sholatnya. Balik!" Perintahku yang pegal menghadap ke dinding dengan posisi tak strategis seperti ini.

"Ya, nggak bisa. Orang kiblatnya ke sana. Masa dibalik." Ia menjawab lagi. Jujur dan polos. 

Tapi, iya juga sih, mana bisa kiblatnya yang dibalik. 

"Kalau sudah selesai, bilang. Pakai cadarnya baru panggil," titahku. 

"Iya," jawabnya dengan santai, lembut, dan menyebalkan.

Maka terpaksa, aku yang mengalah. Aku, seorang Aldo, si bos besar ini mengalah dengan gadis desa? Huh, sekali-kali ini saja. Tak akan terulang lagi. 

Aku tetap pada posisi memunggunginya yang sholat tepat di samping ranjang. Tanpa sedikitpun niat untuk berbalik apalagi mengintip wajahnya yang tak tertutup itu. Tak tertarik. Sungguh tidak menarik. 

Sepuluh menit terjeda, tak ada panggilan darinya. Hanya hening dan hembusan angin yang terdengar. Ampun dah, lama bener sholatnya. Baca surat apa sih dia? Pasti ngeja dengan terbata-bata deh. Menyebalkan.

Saking lamanya, sampai tak sadar aku ketiduran. Terlelap sebab menunggu. Entah berapa lama.  

Aku tiba-tiba terbangun tapi tak terkejut. Hanya merasa seperti terbuai ke alam lain. Melayang. Mengambang dalam semilir suara merdu yang menghanyutkan. Terdengar tenang dan menyejukkan. Suara seseorang mengaji. Membaca Al Qur'an. Dengan suara kecil yang kelewat merdu. Merdu banget. Aku tak pernah mendengar suara semerdu itu. Hentakkan nadanya halus. Pelafalannya sempurna, dan alunan nada mengajinya membuat penasaran mendengarkan hingga akhirnya. Pasti marbot masjid dekat sini lagi mutar murottal baru nih. Enak bener suaranya. 

Aku terus memejam dan menghayati alunan merdu itu. Pertama kali seumur hidup nih aku suka mendengarkan bacaan Al Qur'an, biasanya, ah boro-boro, aku belum taubat jadi ogah-ogahan dengerin ayat suci gini. Tapi kali ini, entah kenapa, suka banget. Hingga tertidur lagi. 

Memimpikan Opa datang dan memarahiku dengan murka karena Miranda mengadu yang bukan-bukan. Memang gadis desa pembawa sial itu.

"Aldo, kamu dikeluarkan dari keluarga Amagatta!" 

"Jangan, Opa! Jangan...!"

".... bangun, sholat dulu." Seorang monster bertutup muka tiba-tiba menyelamatkanku. 

Aku bangkit dan langsung mengucek mata. Menemukan Miranda yang nyaris saja menyentuh, menggoyang tubuhku. Uh, dipegang sama dia? Bisa gatal-gatal ini badan. 

"Huust! Dengar, jangan pernah pegang-pegang dan jangan sampai bersentuhan. Itu juga peraturan dan bagian kesepakatan. Faham?"

Ia hanya mengerjap, entah bagaimana ekspresi wajahnya. Terserahlah, yang penting jangan sampai pegang-pegang aku. 

Batal Cerai (Kukira Wanita Nelangsa, ternyata Bidadari Surga) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang