JANGAN BUKA CADARMU!

4.1K 87 6
                                    

# Batal_Cerai
#Part5

(Sebelumnya klik aja profil saya ya.)

17 lantai aku menaiki tangga manual. Shit! Ini pengalaman paling buruk seumur hidup. Bagaimana bisa, aku, seorang keturunan konglomerat, Sultan ini harus bersusah-payah menaiki tangga manual untuk mencapai apartemenku sendiri? Seumur-umur, baru sekarang aku benar-benar bernasib sial sekali begini. Dan sekali-kalinya menaiki tangga sejauh ini.

Nafasku ngos-ngosan sampai di depan pintu. Kaki pegal bukan kepalang. Emosi naik ke ubun-ubun dan sabarku yang memang hanya seujung kuku rasanya benar-benar hilang sekarang, terbang.

Gara-gara perempuan ninja dari desa itu hidupku jadi berantakan begini. Awas saja. Akan kubalas dia. Kubuat menderita.

Aku merutuk sambil membuka pintu dan sengaja tak menguncinya karena Miranda belum tiba. Jelas saja, dia menaiki tangga dari lantai satu sambil membawa tas besar pula. 27 lantai. Pasti lebih berat perjuangannya. Dan itu wajar. Sesuai kastanya bukan? Jelas beda denganku.

Aku masuk dan langsung menenggak air mineral yang disajikan Bi Hali serta menyantap sajian di meja makan. Lalu merebah di sofa ruang tamu. Ya, di sofa. Aku ingin melihat sendiri kena'asan gadis asing itu. Memastikan sekalian, dia masih sanggup berdiri setelah sampai atau mungkin pingsan dan menyerah di setengah perjalanan?

Setengah jam berlalu, belum ada tanda-tanda ia tiba. Lama juga, dasar lelet. Apa dia pingsan di tengah perjalanan lalu ditemukan oleh satpam? Bisa jadi.

Baru kubuka laptop untuk mengecek pergerakan saham, pintu apartemenku terbuka dan gadis itu tiba sambil mengucapkan salam dengan suara pelan. Lantas kujawab dengan sekali bentakan.

Ternyata, dia masih sanggup berdiri tegak. Bayangkan! Ternyata kaki kuda, boleh juga.

Segera kucecar dengan pertanyaan soal berapa usianya. Ya, aku kan samasekali belum mengenalnya. Hanya tahu namanya, Miranda. Nama yang aneh sungguh aneh.

Dan usianya, sembilan belas tahun ternyata! Oh, Tuhan. Itu usia terlalu belia bukan? Untuk aku yang sudah berusia dua puluh sembilan tahun ini. Pasti dia sangat kekanak-kanakan. Sudahlah dari desa, aneh pula, awas saja kalau manja juga.

Maka sengaja kubentak-bentak agar terlatih dewasa. Ya, aku tak sudi menerima kemanjaan gadis usia belia sepertinya. Awas saja kalau cengeng. Bakal kukurung di kamar mandi biar tahu rasa.

Serangan pertama aku berhasil telak. Dia terlihat gemetaran. Ketakutan? Ck, kampungan memang. Baru segitu juga. Sungguh bukan pasangan impian. Tidak ada menarik-menariknya. Tidak ada tantangannya.

Lalu ia cepat memasuki kamar seperti kuperintahkan barusan. Biar sajalah, daripada aku mual melihatnya yang sungguh suram.

.
.
.

Padahal kuharap ia tak keluar-keluar sampai besok pagi. Atau selamanya sekalian. Ternyata, tak berapa menit berlalu, baru saja aku membuka neraca dan pergerakan saham, ia sudah muncul lagi di depan pintu kamar yang tadi kutunjuk untuknya.

Ada apa? Apa dia sangat tahu diri atau memiliki insting atas niatku untuk memintanya pindah tidur di kamu pembantu?

Ia berdiri di sana, dengan kaki gemetaran. Aku bisa melihat dari kaki berlapis kaus kakinya yang terus ia gerak-gerakkan di lantai.

Kenapa gemetaran begitu? Takut denganku? Ya, pasti begitu. Dasar kampungan.

Kulirik dengan ujung mata sosok suram yang memuakkanku itu.

"Em...."

"Kenapa gemetaran?! Ketakutan?!" Aku bertanya dengan nada penuh kemenangan.

"Lapar. Ada makanan?" Tanyanya kemudian.

Hits. Lapar? Jadi sejak tadi dia gemetaran karena lapar? Kukira karena takut denganku.

"Di dapur. Tapi jangan makan yang ada di meja makan. Masak sendiri," jawabku dengan suara datar.

"Baik, kak, eh... Om," jawabnya sambil menuju dapur.

Apa dia bilang? Kakak? Anak kecil memanggilku kakak, enak saja. Untung dia ingat dan segera meralat.

Aku meletakkan laptop di meja dan mengikutinya ke dapur. Mulai detik ini, aku dan dia harus membuat kesepakatan.

Dia menuang air ke dalam gelas. Sepertinya kehausan sekali. Tentu saja, mendaki 27 lantai. Ck. Dan masih sanggup berdiri. Boleh juga.

Ia baru menarik kursi dan akan minum sembari berniat melepaskan penutup wajahnya itu ketika aku datang dan refleksi langsung mencegahnya.

"Jangan dibuka!" Teriakku yang menghentikan gerakan tangannya dari membuka kain bernama cadar itu.

Huh, hampir saja aku bakal melihat pemandangan yang bakal membuatku semakin ilfeel padanya. Bakal semakin merusak mood ku hari ini dan sampai tiga bulan ke depan. Ya, bagaimana kalau tadi aku sedetik saja terlambat dan dia keburu membuka cadarnya? Lalu memperlihatkan wajahnya yang sudah pasti tidak cantik, penuh noda, penuh jerawat barangkali, atau yah tak menarik samasekali. Tidaklah, jangan sampai. Amit-amit. Wajahnya ditutup begitu saja sudah cukup membuatku kesal, bagaimana kalau dibuka? Karena yang ditutupi sudah pasti demi mengaburkan kekurangannya. Begitu kan?

Ia mengerjap. Hanya matanya yang bisa terlihat.

"Dengar. Em... Miranda. Namamu Miranda kan?"

Dia mengangguk. Aneh sekali bicara dengan orang seperti ini. Seperti bicara dengan patung yang bermata. Tapi itu lebih baiklah, daripada aku terpaksa harus melihat wajah jeleknya kan? Apalagi kulitnya yang mungkin penuh kurap dan panu, dia kan gadis desa, pasti tak pernah perawatan. Huh.

"Selalu gunakan pakaianmu yang seperti ini di dalam rumah ini. Juga penutup wajahmu itu. Jilbab, baju, kaus kaki. Jangan pernah dibuka. Apalagi di depanku. Saat makan, tidur, saat apapun. Faham?!" Aku menunjuk dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Ia harus faham aturan ini.

Aku tahu, itu akan sangat menyulitkannya. Apalagi saat makan atau akan minum seperti ini. Bayangkan, bagaimana dia bisa makan dengan wajah tertutup seperti itu? Aku tertawa puas sekali dalam hati. Jangan-jangan dia jadi tidak bisa minum dan makan. Rasain!

Ia mengangguk. Faham.

Parah yah nih anak. Manutan banget. Nggak ada ngebantahnya.

Ia malah minum dengan santai. Tanpa membuka kain penutup wajahnya, hanya menarik kain itu ke depan lalu memasukkan gelas ke dalamnya. Saat mengeluarkannya, air segelas itu sudah habis saja. Oh, sialan. Dia pintar juga rupanya. Punya cara sendiri untuk minum dengan cara seperti itu. Kukira dia akan menahan kehausan.

Tak apalah, yang penting, jangan sampai saja aku melihat wajahnya. Nanti aku muntah-muntah kan gawat jadinya.

"Kalau saat mandi?" Tiba-tiba ia bertanya. Polos sekali.

"Ya buka saja. Masa mau mandi dengan pakaian begitu? Aneh. Kalau di kamar mandi atau kamar kecil terserah. Tapi kalau sudah di luar jangan."

"Oh, oke," jawabnya santai.

Santai?

"Kalau sholat juga nggak pakai cadar." Ia menjelaskan. Padahal, siapa juga yang minta penjelasan? Dan siapa juga yang mau lihat-lihat dia lagi sholat?

"Sholatnya selalu di dalam kamar, jangan di luar!" Aku mengingatkan.

"Siap."

Oh, nantang.

"Dengar, kita harus membuat kesepakatan," ucapku dengan menatapnya tajam.

"Ya?" Matanya mengerjap lagi. Menatapku juga. Dengan santai saja.

.
.
.

Bersambung

Batal Cerai (Kukira Wanita Nelangsa, ternyata Bidadari Surga) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang