"Maaf, Pak." Liva masuk ke ruanganku.
Aku hanya mengangkat kepala sedikit. Sibuk memeriksa berkas-berkas di atas meja. Banyak sekali pekerjaan yang harus segera kuselesaikan, karena mulai hari ini, sepertinya aku akan pulang lebih cepat. Pukul empat sore aku harus menjemput gadis desa yang lancang sekali mencium punggung tanganku pagi tadi.
"Ada rantangan makanan lagi, Pak. Tiga atau empat. Dari Nona Agnes, Nona Jeni--"
"Kembalikan," potongku datar.
Aku berdecak kesal sesaat. Tak mengangkat kepala lagi, sibuk memeriksa berkas-berkas dengan cepat.
Wanita-wanita itu, tak bosan-bosannya mengirimiku makan siang. Nyaris setiap hari. Meski selalu kutolak berulang-ulang. Seperti tidak punya pekerjaan lain saja. Bahkan walau tahu aku sudah beristri. Eh, entahlah, atau mereka tidak tahu? Aku memang tak mengundang mereka saat resepsi itu dilaksanakan dengan mendadak oleh Opa. Tanpa perhelatan besar. Hanya kolega-kolega dekat Opa yang hadir.
Kufikir saat itu sedikit keberuntungan karena aku jadi tak perlu terlalu menanggung malu diketahui oleh banyak tamu kalau telah menikahi gadis desa yang aneh itu. Tapi hari ini sikap mereka yang belum tahu ternyata justru mengganggu. Terus mengusik hidupku seolah aku ini masih lajang saja.
"Sudah saya bilang begitu, Pak. Tapi mereka memak--"
"Liva, aku bilang kembalikan!" Aku masih tak mengangkat kepala. Setumpuk berkas ini harus kuselesaikan secepatnya. Kalau belum selesai, aku tak akan tenang meninggalkan kantor. Dan bisa-bisa, Bagas keburu mengambil kesempatan mengantar Miranda pulang.
"Tadi sudah saya sampaikan bapak tidak menerima tapi--"
BRAAK.
"Kembalikan! Faham?!" Akhirnya aku harus menggebrak meja.
Dan saat kuangkat kepala, rupanya tiga orang wanita dengan pakaian terbuka dan mentereng khas sosialita itu sudah masuk dari arah pintu, menerobos Liva yang berdiri di sana. Agnes, Jeni, Helen. Berebut masuk membawa rantang makanan masing-masing.
"Keluar. Aku sibuk."
"Aldo say--" Itu suara Agnes sepertinya.
"Apa sih ganjen banget! Aldo--" Itu suara Helen.
"Kalian ih! Aldo--" suara Jeni.
"Liva! Suruh mereka keluar! Aku sibuk!"
"Aldo sayang. Kamu makan dulu, cobain masakan aku ya--"
"Liva! Suruh mereka keluar! Atau panggil satpam sekarang!"
"Aldo say--"
"Cepat, Liva!"
"Aku masak khusus buat kamu loh. Kamu coba dulu ya? Kamu belum makan siang kan?" Helen mendekat. Dan aku cepat menepisnya. Agnes dan Jeni menyusul. Memuakkan sekali wanita-wanita ini.
Satpam segera datang. Berusaha mengusir tiga makhluk itu. Mereka memberontak. Aku tak peduli. Sibuk dengan pekerjaanku, memeriksa berkas-berkas.
"Pak, maaf ada delivery order."
Aku menghentikan kesibukan. Melirik Liva yang berdiri di pintu. Menyusul di belakangnya seorang pemuda berseragam khusus restaurant yang akrab di mataku.
"Permisi. Delivery order untuk makan siang. Dari Nona Miranda untuk Tuan Aldo."
Aku tersenyum sekilas demi mendengar namanya disebut. Melepaskan berkas-berkas yang sedang kuperiksa.
Tiga wanita sosialita yang belum berhasil dikeluarkan dari ruanganku serempak menyebut namanya dengan nada penuh tanya.
"Miranda?!" Menatapku penuh selidik. Menyebalkan sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Batal Cerai (Kukira Wanita Nelangsa, ternyata Bidadari Surga)
General FictionAldo Amagatta, seorang cucu konglomerat yang sombong dan angkuh tingkat dewa, terpaksa menikahi seorang gadis desa sebagai permintaan tak terbantah sang Opa. Miranda, gadis cerdas bercadar asal desa yang sholihah dan rendah hatinya luar biasa. Tapi...