Bab 50: Siksaan Jilid Dua

4 2 0
                                    

Tidak tahukah cowok itu akan konsep hukum karma yang seringkali menggelindingkan seseorang ke jurang rasa bersalah? Okelah, manusia berhati batu mungkin enggan mengerti, tapi tidak untuk Milan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak tahukah cowok itu akan konsep hukum karma yang seringkali menggelindingkan seseorang ke jurang rasa bersalah? Okelah, manusia berhati batu mungkin enggan mengerti, tapi tidak untuk Milan. Sebagai objek tindasan tentu kedongkolannya merajalela.

Gara-gara naik-turun tangga, memutari separuh lapangan hingga berlarian ke sana-kemari menyebabkan Adhenosin Trifosfatnya mengeluarkan jatah energi yang lumayan besar. Alhasil, ia ter-engah-engah sepanjang jalan kenangan, sementara si pelaku acuh tak acuh atas kemalangannya belakangan ini.

Semenjak asal nyeplos tanpa filter tempo hari, hidup Milan bak di neraka huthoma. Dikit-dikit ia disuruh ini, dikit-dikit ia dimintai itu. Milan tolong bawa barang gue, Milan jangan lupa tas gue, dan Milan blaa ... Blaa ... Blaa ....

Antara jadi kacung atau asisten tidak ada bedanya. Ia terus-terusan diperbudak. Rasanya ia ingin mati saja tergulung ombak. Bila ditelaah lebih jauh, Galang sangat pantas menerima karma. Setidaknya, itulah yang Milan harapkan sekarang.

Membungkukkan badan, ia meraup oksigen sebanyak-banyaknya. "Semangat Mil! Lo pasti bisa melewati siksaan ini." Hanya menyemangati diri sendirilah yang acapkali membuat Milan bertahan dalam perjuangannya. Tekad tersebut telah mengakar kuat. Mengalahkan Nova merupakan prioritas utamanya.

Ransel merah berisi glove, helm batting serta tongkat kayu berbentuk silinder kini teronggok manis di atas permukaan paving blok. Kedua telapak tangannya memerah, menahan perih. Bayangkan saja, jarak antara lapangan baseball ke parkiran itu tidak kira-kira jauhnya. Sekitar duapuluh meter.

Belum lagi lorong di angkasa yang berliku mengakibatkan tenaga siapa pun terkuras habis hanya karena berjalan. Galang mana mau peduli seberapa susahnya Milan menjadi asisten pribadi. Yang ia pentingkan bagaimana caranya memanfaatkan keadaan agar Milan kapok. Begitulah yang seorang Ayra Milantika pikirkan.

Matahari di atas sana jua mempertontonkan kehebatannya dalam membakar kulit seseorang.

"Panas banget," lirih Milan pelan. Sesekali ia menyeka bulir keringat yang menetes lalu berjalan selangkah demi selangkah. Mengapa nasibnya buruk sekali hari ini?

Tuhan, tolong kirimkan malaikat baik hati yang dapat menolong hambamu ini, doa Milan sembari menegadahkan tangannya, berharap sang pencipta mau mengabulkan permintaan tersebut.

Selama masa pertapaannya itu belum usai, seseorang muncul tepat di belakang sana. Milan yang sedang memohon pertolongan tidak tahu menahu sebelum suara berat tersebut memborbardir sunyi senyap yang tercipta. Otomatis ia berpaling ke belakang dan ekspresi sedingin kutub utara tak terelakkan.

"Aish, dikira udah nyampai parkiran, ternyata masih di sini."

Diam bae-lah. Toh, keluhan Galang takkan merubah situasinya kan? Repot-repot sendiri, susah-susah pun sendiri. Definisi human minim kepedulian.

"Ya ampun diajak bicara diam aja. Siniin deh tasnya, biar gue aja yang bawa kalau lo keberatan." Kan, kan, kan. Sikap menyebalkan nan mengesalkannya timbul lagi. Apa-apa sesuka hati. Dasar diktator!

Visual Cast [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang