Tetesan hasil air hujan masih nampak menggenang di beberapa sudut. Ranting-ranting yang basah membuktikan kalau cuaca hari ini begitu sejuk. Di koridor, siswi teladan sma angkasa tersebut telah menapak di marmer tempat ia menimba ilmu. Janji yang ia buat waktu itu memberi kegegregetan tersendiri dalam hatinya. Vera tidak habis pikir mengapa ide cemerlang yang ia pastikan berhasil seratus persen, nyatanya tidak menghasilkan dampak apa pun.
Dan inilah saatnya gadis itu bergerak mengorek informasi lebih dalam. Satu-satunya kunci yang Vera butuhkan adalah ... Revan. Ya, gadis yang kerap masuk tiga besar di kelas itu membutuhkan peranan Revan sebagai sahabat dekat Galang Pramudya Arthasena.
"Ah, ternyata dia di sana." Mata Vera berbinar melihat punggung tegap Revan yang sedang membelakanginya. Tampak cowok itu sibuk memainkan bola basketnya.
Ketukan langkah Vera kontan menarik perhatian Revan. Walaupun basket bukan keahlian cowok itu, satu-dua teknik masih bisa ia kuasai.
Vera tersenyum, sementara Revan tertegun melihat ulasan senyum yang tercetak indah.
"Tumben datang cepat," ucap Revan sedikit gugup sebab ini pertama kalinya dia mengobrol dengan sepupu Milan itu.
"Lagi pengen aja." Meski dibalas singkat, Revan tetap puas. Sekarang ia bebas menyaksikan senyum manis tersebut bertengger kapan saja. Besar harapannya untuk dekat dengan cewek ini.
Revan yang bingung harus mengatakan apa, terpaksa memainkan bolanya agar mengalihkan suasana canggung ini. Sadar, kalau obrolan mereka tidak leluasa, Vera pun berdehem pelan.
"Oh ya, duduk dulu, Ver. Kasihan kakinya nopang badan sama tas yang kayaknya berat." Revan menepuk kursi di dekatnya ketika menilik Vera tak beranjak dari posisinya. Ia pun mencoba tenang dan memulai obrolan hangat dengan gadis yang dikenal karena kepintarannya.
"Oh ya, Van. Pertandingan kalian tiga hari lagi kan?" Sebelum mengorek informasi lebih jauh, alangkah baiknya Vera menunjukkan simpatinya supaya presentasi tentang anggapan Vera menyukai kapten baseball sma angkasa mustahil tersiar.
"Iya, jangan lupa datang ya. Ajak juga Risa sama Milan. Senang rasanya kalau anak sekolah lain ikut berpartisipasi nonton pertandingan kami. Apalagi Milan kayaknya pengen ngomong berdua sama Galang."
Seperti mendapat jackpot, Vera terkesiap. Revan seakan paham isi hatinya tanpa diberi tahu sekali pun.
"Gak susah kok lihat gelagat Milan yang pengen banget ngomong sama Galang. Dari matanya aja udah nampak," ujar Revan menjawab keterkejutan Vera.
"Galang itu kayak gimana sih orangnya, Van Humble atau malah rada ramah ke orang-orang?" Pertanyaan yang sedari tadi melintas, mengalir keluar tanpa perintah. Kesempatan emas kalau ia mendapat banyak informasi dalam wawancara tak terencana ini.
"Galang ya, kalau Galang sih anaknya lebih ke ramah. Dia sederhana juga. Gak terlalu suka hal yang berlebihan. Dan dia sedikit benci mengurusi persoalan yang gak ada manfaatnya."
"Aduh, gimana rencananya gak berhasil, pemintaan Milan aneh-aneh sih. Kalau mau pakai fotonya Galang untuk Visual Cast mah tinggal bilang aja. Gak usah pake acara pedekatean segala. " Monolog Vera dalam hati.
"Ada masalah, Ver?" Revan bertanya saat Vera lama terdiam.
"E-enggak kok. Gak ada, cuma lagi mikir aja tadi."
***
Semenjak tahu jawaban yang Revan suarakan, mendadak Vera memutar otaknya. Sepupu sekaligus teman dekat Milan tersebut hendak mencari trik jitu agar keinginan saudara bobroknya terkabul. Mondar-mandir, tidur lalu bangkit, hingga coret sana coret sini, akhirnya usaha Vera tercapai. Ia menemukan satu cara yang tepat supaya Galang tak menolak permintaan Milan mentah-mentah. Setidaknya meminimalisir rasa malu yang barangkali timbul sebab Vera tahu watak dan karakter Milan bagaimana. Perajuk serta baperan akut.
Vera dengan tidak sabaran menunggu panggilannya terjawab. Selepas mendial nomor sang sepupu, ia terus melirik status panggilanya. Berdering. Kata yang tertulis di sana.
"Halo. Apa ver? Tumben nelepon. Kalau urusan yang menyangkut Galang gue angkat tangan deh. Capek banget ngurusin tu cowok sombong. Mau diajak ngobrol, malah melengos pergi. Gak ada sopan santunnya." Suara Milan akhirnya terdengar menyudahi aksi tidak sabaran Vera.
"Udah jangan kesel dulu. Santai sis. Banyak jalan menuju Roma," balas Vera menanggapi celetukan Milan.
"Gimana gak kesel. Coba lo ada di posisi gue. Saat lo baru ngomong satu patah, dan dia malah langsung cuss pulang. Berasa gak dihargai gue jadi cewek," ujar Milan hiperbola.
Lebay? Tentu saja. Tapi, Vera sudah terbiasa menghadapi kegilaan serta kealayan sepupu serta teman-teman sepermainannya.
"Lebay!!!"
Milan bergeming. Sesuai tebakan Vera pasti anak ini lagi baperan karena dikatai 'Lebay'. Tak ingin memperpanjang acara merajuk Milan, buru-buru ia menyampaikan niatnya menelpon kali ini.
"Daripada lo merajuk-merajuk gak jelas, gue ingin memberi informasi penting. Demi menjalankan niat lo menjadikan Galang sebagai visual cast, diharapkan kepada ananda Ayra Milantika untuk datang ke sma angkasa tepat setelah pulang sekolah," seru si gadis jenius mengubah cara bicaranya. Siapa suruh Milan memancing sisi bobrok yang terpendam lama.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Visual Cast [On Going]
Novela JuvenilSebagai seorang wattpaders sejati, mendapatkan banyak pembaca itu adalah hal yang paling diidam-idamkan oleh setiap penulis di dunia orange. Begitu juga yang dialami oleh Ayra Milantika saat ini. Siswi dari Sma Taruna Bangsa itu bahkan iri dengan pe...