06

3.5K 515 27
                                    

Beberapa purnama sudah Hinata lalui tanpa mengganggu kehidupan Sasuke yang terlalu sunyi dengan berbagai keinginannya yang terkadang tidak masuk akal dan berhasil memancing emosi satu-satunya pria Uchiha itu.

Anehnya, sejak kepergian Sasuke menjalankan misi ke luar desa Hinata bahkan tidak merasakan berbagai keinginan aneh dari bayinya. Ia bahkan bisa tidur dengan sangat nyenyak pada malam hari. Seolah keinginan bayinya selama ini hanya untuk menjahili Sasuke saja. Mungkin ia tau bahwa Sasuke tidak akan bisa menolak permintaannya.

Bayi yang nakal!

Cuaca hari ini terasa begitu terik, wajar karena sudah berada pada puncak musim panas. Langkah kaki Hinata dengan ringan mendekat kearah sebuah makam yang rutin ia kunjungi. Tangannya membawa sebuket bunga matahari yang terlihat sangat segar. Cukup jarang melihat orang yang mengunjungi pemakaman dengan membawa bunga matahari, namun Hinata tidak peduli dengan itu.

Baginya, melihat bunga matahari yang cerah mengingatkannya akan pribadi Naruto, mendiang suaminya. Selain itu, kelopaknya yang kuning juga membawa ingatan Hinata pada rambut pria berisik itu. Hinata terkekeh pelan dengan pemikirannya yang cukup random itu.

Ia letakkan buket di atas gundukan tanah yang sudah mengering dan ditumbuhi oleh rumput-rumput kecil yang tak ubahnya bak karpet hijau yang menutupi permukaan tanah makam itu. Dengan perlahan, ia bawa tubuhnya untuk bersimpuh dan menautkan kedua tangannya untuk berdoa pada Kami-Sama, berharap suaminya mendapatkan kedamaian di alam yang berbeda.

"Naruto-kun, aku kembali lagi hari ini." Hembusan angin lembut menerpa helaian indigo Hinata yang masih sama panjangnya seperti saat terakhir kali Naruto mengusapnya. "Kau tau, bayi kita sebentar lagi akan lahir." Tangan kanan Hinata turun mengusap perutnya dengan lembut, penuh dengan sayang.

"Aku sudah membaca buku yang selalu kau sembunyikan dulu. Aku juga sudah tau semua keinginanmu." Hinata mengatup bibirnya, menahan suaranya yang mulai bergetar. Meskipun sudah cukup sering berkunjung, rasa sedih masih saja melingkupi hati wanita Hyuuga itu.

Masih segar dalam ingatannya tentang berbagai percakapan ringan antara mereka. Tentang impian-impian kecil Naruto untuk keluarga kecil mereka, meskipun harus pupus bahkan sebelum semuanya terwujud.

"Hinata kau ingin punya berapa anak?" Ucap Naruto mengawali pembicaraan mereka di sore musim panas. Suasana terasa begitu hangat diantara keduanya yang sedang duduk santai di beranda samping rumah sembari menikmati kudapan manis buatan Hinata.

"Mungkin dua?" Hinata menjawab dengan nada tanya. Tidak begitu yakin, baginya berapapun anak yang diberikan Kami-Sama pada mereka, Hinata tidak masalah dengan itu.

"Eii, kenapa hanya dua?" Naruto menoleh pada Hinata yang tepat berada di sampingnya, membuat sang empunya mahkota indigo juga mengalihkan pandangannya pada sang suami.

"Memangnya Naruto-kun ingin punya anak berapa?" Hinata bertanya dengan senyum geli. Wajah Naruto terlihat lucu saat mengernyit heran seperti saat ini.

"Aku ingin punya banyak anak, mungkin 7? Pasti akan sangat—auch! Hinata kenapa kau mencubitku?!" Naruto meringis pelan, cubitan Hinata terasa cukup sakit baginya.

"Serius ingin punya 7? Baiklah, tidak masalah, tapi Naruto-kun yang hamil mau?" Hinata kesal, apa Naruto tidak berpikir jika mengandung dan melahirkan itu sulit?

Naruto meringis pelan, Hinata yang jengkel ternyata cukup menyeramkan.

"Baiklah, baiklah. Cukup 2 ya, sesuai keinginanmu." Naruto menarik Hinata kedalam pelukannya yang hangat dan nyaman. Tangan berkulit tan itu mengusap helaian rambut istrinya dengan lembut dan penuh sayang.

Hinata melingkarkan kedua lengan kecilnya, membalas pelukan hangat Naruto. Ia tersenyum manis, merasa bahagia dengan keadaan mereka saat ini. Hidup sederhana bersama dengan orang yang sangat dicintai, siapa yang tidak akan merasa tenang jika berada di posisi Hinata saat ini.

"Kenapa Naruto-kun ingin punya banyak anak?" Hinata mendongakkan kepalanya menatap Naruto, netranya menangkap tampilan rahang tegas Naruto dari arah bawah. Ternyata dari sisi manapun Naruto tetap terlihat tampan. Pipi Hinata memerah memikirkan itu.

"Hm? Kenapa ya ..." Naruto menatap Hinata sekilas, kemudian mengalihkan pandangannya seperti menerawang ke masa yang akan datang. Ada sorot penuh harap dibalik mata safir itu, dan senyuman lembut hadir di bibir kecoklatan sang pria Uzumaki.

"... Aku tidak ingin kau kesepian." Naruto menghela napasnya pelan. "Aku tidak bisa selalu berada di sisimu. Terkadang aku harus pergi ke luar desa, waktunya bahkan tidak bisa aku pastikan. Aku tidak bisa meninggalkan kau sendirian, jika kita punya anak yang banyak kau jadi ada teman menungguku pulang." Naruto terkekeh pelan.

Hinata mengeratkan pelukannya pada tubuh Naruto. Hinata tidak menyangka Naruto memikirkannya sampai seperti itu. Senyuman malu tidak bisa ia tahan merekah di bibir ranumnya. Naruto turut memeluk Hinata, ia jadi gemas sendiri dengan tingkah malu-malu Hinata.

"Aku tidak tau umurku sampai kapan, Hinata. Setidaknya ketika aku mati nanti, masih ada anak kita yang akan menemanimu menghabiskan waktu di dunia yang cukup menyebalkan ini." Naruto terkekeh pelan di akhir kalimatnya.

"Naruto-kun, jangan bicara sembarangan!"

"Baiklah, baiklah. Maafkan aku, ne?"

Hinata tersenyum sendu menatap nisan dengan ukiran cantik milik Naruto. Ternyata apa yang Naruto ucapkan kala itu memang menjadi kenyataan. Dia pergi, meninggalkan Hinata dan anak mereka lebih cepat dari yang Hinata bayangkan.

Tidak ada Naruto yang akan menuntun langkah pertama anaknya.

Tidak ada Naruto yang akan menemani anaknya mengoceh di waktu luang.

Tidak ada Naruto yang akan mengantar anaknya di hari pertama masuk akademi.

Tidak ada Naruto lagi.

"Aku harus pergi sekarang, Naruto-kun." Hinata melangkah perlahan meninggalkan makam Naruto yang siapapun melihatnya pasti akan merasakan sesak yang sama sepertinya. Luka itu masih ada, namun kini perlahan mulai mengering dan hanya akan meninggalkan bekas.

Bukan bekas yang menyakitkan, tapi bekas yang menjadi pengingat bagi Hinata bahwa ia pernah dicintai dan mencintai sedalam itu.

Tanpa Hinata menyadari, bahwa Naruto ada di sana mengamati wanita tercintanya sejak pertama kali memijakkan langkah di pemakaman ini. Senyum cerah ia perlihatkan meski tau bahwa Hinata tetap tidak bisa melihatnya.

Ekspresi yang Naruto tampilkan berubah-ubah, mulai dari senyum, sendu bahkawan tawa kecil turut hadir ketika Hinata mengajaknya mengingat memori mereka dulu.

Tepukan halus Naruto rasakan di pundak tegapnya, ia menoleh dan mendapi ibunya tersenyum lembut padanya.

"Ayo, kita tidak bisa berlama-lama di sini. Ini sudah bukan tempat untuk kita." Kushina menuntun sang anak untuk pergi.

Naruto mengangguk pelan, sebelum ia benar-benar menghilang, ia sempat membisikkan sebuah kalimat yang ia harap akan dibawa oleh angin sampai pada sang tercinta.

"Berbahagialah Hinata."

.
.
.

TbC

Sad sekali part ini:(

You're not AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang