14. They Ask

861 191 137
                                    

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

“Jean.. dada gue.. sakit. Gue.. gue, nggak bisa napas. Sakit. Semuanya sakit, Jean. Tolongin. Sakit banget.” Jian bicara terbata.

Jean langsung mengelus-elus punggung Jian dengan pelan seraya memberikan ruang bagi Jian untuk meraup udara sebanyak-banyaknya. Jean juga merasa sakit melihat Jian seperti ini.

“Napas pelan-pelan, berenti nangis.” Jean mengusap air mata Jian yang terus mentes. “Ambil napas pelan terus embuskan dengan pelan juga. Berenti nangis.”

Jian mengangguk dan mengikuti instruksi Jean. Meraup udara dengan pelan kemudian dilepaskan dengan pelan. Terus begitu sampai Jian merasa agak lebih baik.

“Matanya nanti bengkak, berenti nangis, ya? Liat, lo kalau nangis berlebihan suka sulit napas.” Jean terus berusaha menenangkan adik kecilnya. Baginya saat ini, mama dan Jian adalah prioritasnya.

“Kenapa lo nggak ngasih tahu gue dari kemarin?” tanya Jian dengan suara serak dan sumbang, ingusnya mentes dan Jean dengan sigap mengusapnya. “Kalau lo udah tahu, kenapa diem aja?”

“Bagi lo, ayah itu segalanya. Lo bahkan sering bilang kalau lo lebih sayang ayah dari pada mama. Ayah, ayah, dan ayah. Selalu gitu. Apa-apa harus ayah. Dulu aja waktu kecil, lo nggak bisa tidur kalau nggak di puk-puk sama ayah. Gue takut kalau gue ngasih tahu lo langsung tanpa persiapan, lo akan down dan gue nggak mau itu terjadi. Makanya gue diem dulu, mikirin cara dan waktu yang tepat buat ngasih tahu lo sama mama. Liat, tadi aja lo emosi pengen nyamperin ayah gitu aja,” jelas Jean panjang lebar.

Sosok yang selalu Jian banggakan, sosok yang selalu menjadi nomor satu bagi Jian, segala-galanya bagi Jian. Sekarang, sosok itu hanya meninggalkan memori buruk pada kepala Jian.

Rasanya seperti mimpi saat melihat ayah yang selalu dia percaya ternyata berkhianat. Ayah yang selalu terlihat baik ternyata tidak sebaik yang dia kira.

Jian masih sesegukan, dia menyandarkan kepalanya di pundak Jean. “Terus, mama gimana? Apa mama tahu?”

“Itu yang jadi pertanyaan gue akhir-akhir ini. Kalau emang mama beneran nggak tahu, berarti ayah keterlaluan bohongin orang sebaik mama. Kalau emang tahu, kenapa mama diem aja diselingkuhin dan nggak ngelakuin apa-apa, alasannya bertahan apa.”

“Terus sekarang gimana?” tanya Jian lagi seraya memperbaiki posisi duduknya dan menatap Jean dengan mata yang sudah bengkak. “Kita, maksud gue nasib kita gimana sekarang? Gue selalu kasian liat Fira karena broken home. Ternyata sekarang situasi itu mungkin bakalan gue alamin.”

“Kita kasih tahu mama, ya? Pelan-pelan aja. Kita tanya dulu apa mama tahu atau nggak. Terus nanti diskusi aja gimana baiknya. Kalau emang cerai adalah jalan satu-satunya, ya udah, biarin. Kasian mama, hidup sama laki-laki kayak ayah. Baik di depan, pura-pura care tapi ternyata di belakang punya perempuan lain. Iya?” Jean mengusap pelan pundak Jian. Gadis itu masih termenung. “Jian?”

Helaan napas Jian terdengar lirih, air matanya kembali menetes. “Tapi gue nggak mau mereka cerai,” lirih Jian.

“Kita udah dewasa, sikapi masalah ini dengan bijak. Gue tahu lo terpukul tapi jangan berlarut-larut. Ini masalah yang serius. Kalau kita diem aja dan nggak ngasih tahu mama, kasian mama. Emangnya lo nggak kasian liat mama yang capek-capek ngurusin kita sama ayah tapi ternyata ayah seneng-seneng sama perempuan lain?”

“Hati gue sakit. Sakit banget, kayak dicabik-cabik.”

Jean hanya bisa mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Jian terlihat sangat terluka dan dia ikut merasakan emosinya.

DANDELION [JAELIA✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang