Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
Jevin meletakkan sekantong plastik berisi makanan dan minuman, juga beberapa obat penurun demam sebab sudah tiga hari Nathan demam dan tidak masuk bekerja.
Sejak pulang dari apartemen Lia tiga hari yang lalu, Nathan jatuh sakit. Ucapan Jian begitu membekas, bahkan sampai Nathan merasa sangat malu kalau harus berhadapan lagi dengan mereka.
Jean memintanya menginap, tapi Nathan menolak. Tidak sanggup rasanya harus berdiam lebih lama di sana. Hari itu, Nathan pulang pukul dua belas malam, Jean sudah melarang tapi Nathan tetap ingin pulang.
“Hati-hati, Nat. Jangan ngebut walaupun jalanan sepi,” ujar Lia waktu itu, ketika mengantarnya keluar.
“Iya, masuk sana.”
Nathan benar-benar malu. Luka dan rasa sakit yang dia berikan pada Lia tidak dapat terhitung. Bahkan dia secara terang-terangan mengumbar hubungannya bersama Elena di depan Lia.
Tapi apa? Lia tidak pernah marah. Lia tidak pernah ikut campur urusannya kecuali itu berhubungan dengan si kembar. Lia selalu sabar dan tulus mengurusnya yang bahkan tidak pernah memikirkan rumah jika bersama Elena. Lia tidak pernah bertanya dia sibuk apa, di mana dirinya, urusan apa yang dia lakukan. Tidak, Lia tidak pernah ikut campur. Bukan karena tidak peduli tapi Lia tidak ingin menyakiti diri sendiri dengan tahu lebih banyak tentang mereka.
Kini, semua kepingan memori itu menghantam kepalanya secara bersamaan. Apalagi ketika kini Nathan menyadarinya setelah Lia dan anak-anaknya pergi. Setelah semuanya menghilang dari hidupnya.
“Kalau nggak ada gue, siapa yang bakal lo mintain tolong?” Jevin menggerutu.
“Sorry, Jev. Cuma lo sahabat gue dan cuma lo yang bisa gue mintain tolong. Nanti gue balas kebaikan lo.” Nathan beranjak duduk dan meraih sendoknya.
“Cewek lo mana? Kenapa nggak minta tolong sama dia?”
“Nggak pernah gue respon lagi chatnya, teleponnya juga nggak pernah gue angkat.”
Jevin berdecak. “Jadi, sekarang tujuan hidup lo apa? Bukannya kemarin pengen cerai dari Lia terus nikah sama Elena? Sekarang apa?”
“Iya, dari awal tujuan gue emang itu. Bahkan kalau Lia nggak mohon-mohon dengan alasan si kembar, gue kayaknya udah cerai dari dulu. Sampai kemarin bahkan gue belum bisa menentukan pilihan karena gue mulai sayang sama Lia. Hingga akhirnya si kembar tahu dan Lia memilih pergi. Si kembar juga ninggalin gue. Ternyata semuanya terasa setelah mereka pergi, rasanya kosong Jev, hampa. Sekarang, gue udah tahu jalan keluar dari segala kebingungan gue selama ini..”
“Apa?”
“Lia. Jawabannya Lia,” ujar Nathan sambil tersenyum miris. “Waktu gue sama Elena akhir-akhir ini, gue selalu kangen rumah. Sampai rumah, gue kangen keramaian yang ada yaitu Lia dan anak-anak gue. Gue pernah lepasin cincin ini.. Tapi rasanya tangan gue kosong, seolah ada yang hilang. Gue sama Elena tapi gue ngerasa sendiri, gue nggak bahagia. Ternyata perasaan gue sama Elena itu cuma rasa simpati karena gue nggak tega ninggalin. Tapi, semuanya udah terlambat, Jev. Lia udah pergi dan dia nggak mau balik sama gue. Gue terlambat sadar..”
Jevin yang baik hati membukakan Nathan botol air mineralnya dan menyodorkannya.
“Tapi kok gue belum bisa percaya sama lo karena lo masih berstatus sepasang kekasih sama Elena. Lo emang nggak ngerespon lagi tapi faktanya status kalian masih pacaran,” ujar Jevin.
“Nanti kalau gue udah mendingan, gue bakal ketemu dan ngomongin semuanya. Karena percuma juga gue terus sama Elena tapi gue nggak bisa ngasih kejelasan sama dia.” Nathan meneguk air putihnya kemudian menelan satu obat penurun demam. “Gue kira, perasaan gue sama Elena nggak akan pernah berubah. Nyatanya, perasaan nyaman karena terbiasa sama Lia bisa menggantikannya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
DANDELION [JAELIA✔️]
FanficSeperti salah satu makna Bunga Dandelion yaitu kuat dalam kerapuhan, seperti itulah kehidupan Celia setelah menikah dengan Nathan. ©dear2jae 2021.