06. Jian's Fear

856 187 79
                                    

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

Seminggu berlalu dan sejak saat itu Nathan tidak pernah ke mana-mana sepulang dari kantor. Pagi berangkat bersama Jean, Jian dan juga Lia. Lalu sore kalau pulang, dia langsung pulang ke rumah. Kadang membawa sekantong plastik besar snack untuk menemani pertandingannya bersama Jean, kadang membawa cokelat juga untuk Jian.

Bagi Lia, itu aneh. Tapi bagi kedua anaknya, itu adalah kegembiraan sebab mereka bisa meluangkan banyak waktu dengan ayahnya.

"Sikapmu aneh kalau kayak gini. Jangan dipaksain kalau nggak bisa. Sewajarnya aja, Nat." Lia nyeletuk ketika melihat Nathan yang sedang mengganti baju sepulang dari kantor.

Nathan hendak menimpali tapi ponselnya menginterupsi. Ponsel itu berada di atas nakas samping ranjang, di mana Lia sedang duduk di pinggir ranjang.

"Pacarmu nelepon," ujar Lia pelan. Dia sedang melipat baju-baju Jean dan Jian.

Seperti ucapannya beberapa saat yang lalu kalau Lia sudah pasrah akan hidupnya. Terserah Nathan mau melakukan apa, Lia tidak peduli. Pacaran, silahkan. Lia tidak punya kuasa untuk melarang. Disuruh memilih, Nathan bilang tidak bisa. Jadi, ya sudah.

Walaupun pada kenyataannya, hati Lia benar-benar sakit. Sangat sakit yang sampai nyeri.

"Hm, angkat aja," sahut Nathan terlihat tidak peduli. Dia berlalu ke luar dari kamar dan berteriak memanggil Jean. "Jeandra, keluar! Ayah tunggu di ruang tengah."

"Uang, ya," teriak Jean dari dalam kamarnya.

"Iya!"

"Aku juga mau uang!" sahut Jian dan terdengar suara pintu yang terbuka dengan keras.

Nyeri hati Lia akhirnya bisa terobati walaupun ponsel Nathan terus saja berdering di sampingnya. Nama pemanggil, Elena. Lia bahkan tidak ada niat untuk mengangkatnya sama sekali.

Selesai dengan kegiatannya, Lia bergabung bersama mereka di ruang tengah. Menyaksikan keributan antara Nathan dan Jean yang sedang bermain game. Apalagi Jian yang terus mengganggu Jean supaya dia kalah dan tidak mendapat uang dari ayah.

"Oy, oy, bentar, Ayah! Eh, woyy, Nathan!" teriak Jean ketika dirinya kalah. Sontak ucapannya membuat Jian maupun Lia tertawa.

"Apa? Kamu bilang apa barusan? Coba ulangi?" Nathan mempertegas sedangkan Lia dan Jian tidak bisa menyembunyikan tertawanya.

Jean nyengir dan beringsut ke samping Nathan. "Keceplosan, Ayah. Mulutku emang suka gitu, sukanya keceplosan kalau lagi tegang. Maafin, ya."

"Mampus lo!" Jian tertawa puas.

"Awas ya." Nathan melayangkan kepalan tangannya. "Sebagai hukuman karena nggak sopan sama Ayah.. sini, Ayah yang akan cium kamu."

Jean segera menghindar. Tidak, dia bukan anak kecil lagi yang suka dicium-cium kecuali oleh orang yang dia suka nantinya.

"Nggak, lebih baik Ayah ngasih hukuman yang lain. Aku nggak mau, geli tahu. Aku udah dewasa, bukan anak kecil lagi yang suka dicium." Jean menolak keras.

"Sekali-kali kenapa sih emangnya? Kamu juga nggak pernah mau dicium sama Mama," sahut Lia.

"Gini aja, Ayah cium aku, Jean, dan Mama. Gimana?" tawar Jian.

Oh Tuhan, Jian, tawaran itu seketika membuat Lia membeku. Nathan dan Lia saling tukar pandang hingga akhirnya Nathan mengangguk setuju.

"Ok, gitu aja." Nathan berdiri dan mencium Jian di pipi kanan. Tentu saja gadis itu langsung memekik kegirangan.

DANDELION [JAELIA✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang