22. Their Emotions

885 182 44
                                    

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

Nathan bilang, dia menyesal. Tapi apa? Ekspresi Lia biasa saja. Lia terlalu sering dibohongi, hingga sulit baginya untuk langsung percaya. Yang dia lakukan hanya duduk diam sambil menguyah pelan makanannya seraya mendengarkan ocehan Nathan.

“Aku.. Aku menyesal udah ngelepasin perempuan sebaik kamu, perempuan sesabar kamu, setulus kamu. Terasanya emang waktu kamu udah pergi dari hidupku. Aku kira aku akan bahagia setelah kita pisah, nyatanya nggak. Aku malah ngerasa menderita dan ngerasa hampa. Aku kira setelah kamu pergi, aku bisa jalani semuanya sama Elena, nyatanya bukan dia yang ku mau. Aku nggak ngerasa nyaman sama dia, entahlah, aku juga bingung. Aku bersamanya seharian tapi rasanya aku kayak sendiri, nggak terlalu seneng juga. Aku selalu kangen rumah tapi di rumah ini udah nggak ada yang nungguin lagi. Aku pengen pulang, tapi nggak tahu ke mana.” Nathan tersenyum kecut, satu persatu penyesalan kini datang menghampiri.

Lia masih diam, membiarkan Nathan menumpahkan segala yang ingin dia katakan malam ini.

“Kamu tahu, sebulan ini aku uring-uringan. Aku kayak tersesat di suatu tempat dan aku masih sulit buat menentukan arah ke mana aku akan pergi selanjutnya padahal jalan keluarnya udah ada di depan mata. Ternyata sekarang aku sadar setelah kehilangan. Jalan keluarnya kamu, kamu yang jelas-jelas ada di depanku tapi keegoisanku buat aku mikirin jalan lain,” lanjut Nathan, masih dengan kepala tertunduk. Rasanya tidak sanggup kalau harus menatap mata Lia.

Mereka berdua kini sedang merasakan emosi masing-masing. Bahkan mata Lia berkaca-kaca karena ucapan Nathan.

“Aku pernah ngelepasin cincin ini, berniat cari hidup baru yang emang aku inginkan dari awal. Tapi rasanya kosong, kayak ada bagian yang hilang. Tiap hari aku tersiksa sama perasaanku yang kadang masih labil, sulit menentukan pilihan. Ternyata, cincin ini adalah jawaban sederhananya. Itu sebabnya kemarin aku chat kamu dan bilang aku kangen, pengen ketemu. Tapi ternyata kamu nggak mau ketemu. Untung aja kita ketemu tadi, kalau nggak, aku juga malu mau chat kamu lagi.” Nathan tersenyum tipis dan mengangkat kepalanya kemudian menatap Lia.

“Makan, nanti keburu dingin dan nggak enak lagi nasi gorengnya,” ujar Lia pelan seraya menunduk untuk menyuap makanannya lagi.

Hatinya bergemuruh hebat, perasaannya campur aduk, emosinya meluap-luap. Lia mengepalkan tangan kirinya dengan kuat.

Tapi, Lia hanya merasakan emosi sesaat. Karena sulit baginya untuk percaya dengan mudah setelah apa yang dia lalui selama ini.

“Setelah apa yang aku bilang tadi, apa kamu beneran nggak bisa percaya lagi sama aku? Apa kamu nggak mau maafin aku?”

“Aku udah maafin kamu, Nat. Soal kepercayaan.. Iya, aku nggak bisa percaya lagi soalnya kamu udah sering kayak gini. Omongan nggak sesuai sama tindakan.”

Nathan meletakkan sendoknya dan menghela napas lirih. Bahkan dia terlihat mengusap setitik air mata yang turun dari sudut matanya.

“Iya, nggak apa-apa. Mungkin ini karma dari Tuhan.” Nathan beranjak tanpa menghabiskan makanannya. “Ayo ku antar pulang, udah malem. Udah jam sembilan lewat tiga puluh.”

“Bentar, aku beresin ini dulu.” Lia meraih piring kotor dan sendoknya serta gelas air.

“Biarin aja, nanti aku yang beresin.”

“Kamu nanti lupa terus jadinya males dan ini bisa bertahan selama berhari-hari kayak baju kamu. Kamu mau tempatmu kotor?”

Nathan perlahan mendapatkan balasannya, balasan karena pernah memberikan banyak luka pada Lia. Kini, Lia sudah terbiasa berada di dekatnya tanpa mempermasalahkan perihal perasaan. Walaupun sebenarnya, Lia juga masih menyayanginya. Tapi Lia tidak ingin kembali. Hal itu diperjelas karena Lia tidak bisa mempercayainya lagi.

DANDELION [JAELIA✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang