05. He Can't Choose

886 198 105
                                    

Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)

*

“Bukannya Mama udah sering bilang ya sama kamu, kalau ayahmu sibuk nggak usah di telepon terus? Kamu udah besar tapi kenapa nggak mau dengerin omongannya Mama? Kamu ngerti nggak sih kalau Mama nasihatin kamu?” suara Lia agak tinggi dan itu langsung membuat Jian menundukkan kepala.

Sementara Jean tidak bisa berbuat apa-apa, mau membela saudara kembarnya, nanti dia yang kena juga. Jean juga mengerti kalau ayahnya sibuk tapi Jean juga mengerti kalau Jian itu tidak bisa lepas dari sosok ayahnya.

Air mata Jian menetes. Bukannya tidak mengerti tapi Jian memang sudah sedekat itu dengan ayahnya sejak dulu. Jadi, ketika Nathan sibuk dan jarang pulang, wajar saja Jian terus bertanya.

“Tapi kemarin ayah bilang udah nggak sibuk, makanya aku telepon ayah.” Jian masih menangis.

“Bisa aja ayahmu tiba-tiba dapat kerjaan makanya nggak bisa pulang. Kamu udah besar, sebentar lagi mau masuk SMA tapi kenapa masih aja kayak anak kecil?”

“Ma, udah. Mama tenangin diri dulu, ya. Biar nanti aku yang ngomong sama Jian.” Jean menarik tangan Lia tapi Lia menepisnya dan berlalu ke kamar.

Sementara itu, Nathan yang baru saja tiba seketika kaget saat melihat Jian masih menangis di ruang tengah dengan kedua kaki ditekuk dan Jian menenggelamkan kepalanya di antara kakinya.

“Kamu kenapa?” Nathan beranjak duduk di samping Jian.

Tak kunjung mendapat jawaban karena Jian masih menangis, Nathan menatap Jean yang masih diam di sofa seberang.

“Mama marahin Jian karena nelepon Ayah terus.”

Begitu mendengar jawaban putranya, Nathan segera beranjak dan menemui Lia di kamar. Jean hanya bisa mengembuskan napas berat melihatnya. Pasti orang tuanya akan bertengkar.

Nathan membuka pintu dan mendapati Lia sedang duduk di pinggir ranjang dengan tatapan kosong. Lia mengangkat kepalanya ketika melihat Nathan sudah berdiri di depannya.

“Kenapa Jian sampai nangis segitunya? Emangnya kamu bilang apa sama dia?” tanya Nathan.

“Aku cuma bilang buat nggak nelepon kamu terus karena kamu sibuk.”

“Nggak usah terlalu keras sama Jian. Bukannya kamu sendiri yang bilang jangan ngedidik mereka dengan keras? Sekarang kenapa malah kamu yang kayak gitu.”

Lia menghela napas berat kemudian mendongak dan menatap Nathan. “Nat, Jian itu sayang banget sama kamu. Kamu itu nomor satu bagi dia, kamu segalanya. Aku negur dia supaya nggak nelepon kamu terus, demi dia juga nantinya. Supaya kalau kita pisah, dia nggak terlalu sedih. Aku tahu caraku keras tapi kalau nggak kayak gitu, dia akan manja terus nantinya. Terlepas nanti apakah dia ikut aku atau kamu, itu pilihannya dia. Yang penting dari sekarang aku mau ngajarin kalau kamu nggak bisa selalu ada buat dia.”

Nathan seperti tertampar keras mendengar ucapan Lia. Dia yang tadinya marah-marah berusaha untuk tenang lagi.

“Mulai sekarang, nggak usah larang-larang dia buat nelepon aku. Nggak apa-apa walaupun aku sibuk, aku akan luangin waktu buat dia, buat anakku.”

Hm, ya udah. Terserah kamu aja, asal Jian nggak tahu kesibukan kamu apa.”

Kata sibuk dalam pembicaraan mereka mengarah ke arti lain. Lia menafsirkannya seperti itu dan sepertinya Nathan paham.

“Maksud kamu apa sih?!” suara Nathan meninggi dan itu terdengar hingga ke ruang tengah, di mana Jean dan Jian berada.

“Aku udah bilang ‘kan, kalau aku tahu semua yang terjadi di belakangku. Tentang kamu yang punya pacar dan sering jalan berdua. Iya, maksud aku itu. Jangan sampai Jian tahu kamu punya pacar dan jangan sampai Jian liat kamu jalan sama pacarmu.” Lia sudah tidak bisa menyimpan emosinya. Hingga akhirnya dia berani bicara secara terang-terangan di depan Nathan.

DANDELION [JAELIA✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang