panggung ini milik kita berdua

165 34 4
                                    

Mata itu masih menatap benda di depannya dengan tatapan kosong. Kertas yang sudah basah dan hampir robek itu mencoba untuk melepaskan diri dari genggamannya, namun genggaman anak itu sangat kuat. Demam Aksa sudah menurun, namun ia enggan untuk memakan sesuap nasi, itu membuat kondisinya belum pulih hingga kini. Di setiap pagi, yang ia lakukan adalah merenung. Sampai petang menjemput, masih merenung sesekali tidur.

Aksa mengepalkan tangannya, “Siapa?”. Disaat ia mulai jenuh berpikir, seseorang mengetuk pintunya. Aksa tidak menjawab sampai seseorang membuka pintu. Itu adalah Suratma dengan nampan yang ada ditangannya. “Sudah makan?” tanya Suratma ragu-ragu. Sebagai jawaban, Aksa menggeleng.

Suratma menghela nafas, mengambil tempat duduk tepat di depan Aksa. “Suratma,” panggil Aksa namun Suratma tidak menanggapinya. “Suratma, aku berbicara padamu.” Lanjutnya. Dengan enggan, Suratma menjawab, “Bicara saja,”. Nada ini terlalu ketus untuk orang yang saling mencintai.

Tunggu, mana ada mencintai tapi menyelingkuhi?.

“Kalau tidak ada yang kamu bicarakan, ayo makan.” Ucap Suratma. Namun Aksa tidak akan mudah melepaskan moment dimana ia akan meminta maaf pada Suratma. “Aku minta maaf,”. Suratma berhenti dengan kegiatannya, “Aku yang salah, mengapa kamu yang meminta maaf?”. Kata-kata Suratma menusuk hatinya lalu Aksa menggeleng sambil memegang tangan Suratma, “Aku yang salah, Suratma.”

“Jangan bicara omong kosong, aku akan pergi mencari air,”.

Aksa tidak memberikan izin. Lantas, Aksa bersujud dibawah kaki Suratma hingga menangis sesenggukan. “Setidaknya jika kamu ingin meninggalkanku, bawa ini. Aku membuatkannya untuk kita,”. Suratma melihat ke arah bawah, ada sapu tangan berwarna putih yang di sisi sampingnya ditulis nama dengan benang. Suratma mengambilnya.

Tulisan yang tertera disana adalah Aksasura, Suratma, Mahatma/Marrytusan.

Suratma menggenggam sapu tangan itu, Aksa mulai berdiri untuk menyesuaikan tinggi badannya dengan Suratma. Suratma membuang pandangannya ke samping. “Suratma, apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan maafmu?”. Suratma tidak bergeming.

“Apa aku harus memukul kepalaku?”. Aksa mulai memukul kepalanya berulang kali hingga panas dan hampir jatuh. “Ini tidak cukup. Apa aku harus menghantamkan kepalaku ke dinding?”. Setelah itu, Aksa beberapa kali membenturkan kepalanya hingga mengeluarkan suara. Melihat Suratma masih diam, ia berjalan ke arah lemarinya dan mengambil pistol.

Pistol itu ia letakkan di tangan Suratma. “Apa ini akan membuatku mendapatkan maaf?”. Suratma mengepalkan pistol itu dan melemparnya ke arah samping. Ia langsung memeluk Aksa dengan sangat erat. Aksa menerima pelukan itu dengan lapang.

“Aku mohon. Kembali, ya?” pinta Aksa dengan air matanya yang mengalir. “Wajahmu terlihat pucat. Mau jalan-jalan sebentar?” ajak Suratma dan Aksa mengangguk sebagai jawabannya.

Tidak ada yang istimewa dalam perjalanan mereka, hanya disuguhi beberapa kecanggungan. Sesekali, Aksa melihat ke arah Suratma dengan senyum yang tulus. “Melihat apa?” tanya Suratma.

Aksa terkekeh, “Melihat duniaku,”.

Senyum Suratma tiba-tiba hilang dan berubah kembali menjadi kecanggungan diantara mereka. Aksa memaklumi itu, kemudian ia memegang tangan Suratma, menyuruhnya untuk berhenti. “Apa ada yang ingin kamu tanyakan? Aku akan menjawabnya dengan jujur sekarang,”. Tanpa bicara lebih lama lagi, Suratma mengangguk.

“Siapa wanita itu dan kapan kamu mengenalnya?”.

“Namanya Inggit. Dia adalah hati pertamaku,”.

Suratma menganggukkan kepalanya sembari melihat tanah. Tangan Aksa bertengger pada dagu Suratma, ia mengarahkan dagu Suratma agar pandangannya bertemu dengan pandangan Aksa. “Tapi kamu adalah Suratma. Kamu akan menjadi pilihan terakhirku untuk berlabuh,”.

aksasuratma✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang