binar adiwarna

350 73 32
                                    

Hausnya dahaga menyebabkan Aksa harus berbalik ke penginapan untuk mengambil airnya. Pekerjaannya hari ini tidak terlalu rumit tetapi juga tidak terlalu mudah untuk dilakukan, memancing ikan. Ia berusaha untuk bersosialisasi dengan warga Jumantara, namun sepertinya ia membutuhkan banyak waktu agar bisa beradaptasi.

Langkah Aksa buru-buru sembari memegang tenggorokannya yang kering, melewati satu per satu kamar awak kapal yang tidak berpenghuni. Tidak ada yang tahu pergi kemana mereka siang ini, namun terdapat beberapa suara yang membuat langkah Sang Kapten terhenti.

“Apakah kita juga akan mengambil uang milik Kru Gor?”.

“Ya. Semuanya adalah milik kita. Tidak peduli apapun, kita akan memiliki semua aset yang berada pada Jumantara. Berhati-hatilah terhadap Jenardana dan Kapten Kapal Phantèrgouze,”.

Mendengar itu Aksa mencoba untuk bersembunyi diantara celah pintu dapur luar yang terbuka. “Aku akan terus mengawasi gerak-gerik Jenardana. Kau jangan lupa untuk mengawasi Khun,”. Alis Aksa mengerut, mengapa dirinya ikut terseret dalam kejadian ini?.

Ia memasangkan telinganya lagi untuk mendengar percakapan selanjutnya.

“Kapan tenggat terakhir pelayan menyerahkan ikannya? Aku akan menjualnya dengan harga mahal dan kita akan mendapatkan untung banyak!”.

“Saya rasa seminggu, Tuan. Apa yang akan anda lakukan terhadap nelayan dan petani itu?”.

“Apalagi selain bekerja? Mereka tidak akan membuka mulutnya kecuali aku yang meminta. Kita akan paksa mereka melakukan kerja tanpa upah. Jangan biarkan siapapun menghancurkan rencanaku, kau mengerti?”.

Aksa menoleh sedikit, terdapat dua orang laki-laki dengan setelan jas hitam sedang berbincang disana. Ia tidak mengenali salah satunya, tetapi ini adalah hal yang harus Aksa laporkan pada Walikota.

“Sudah jelas mereka adalah para petinggi. Apa yang akan mereka lakukan pada Jumantara? Dan kenapa mereka tidak memberi upah pada pekerjanya? Dunia seperti apa Jumantara ini?”.

Ia bermonoton dalam hati, masih terbayang percakapan dua laki-laki yang menghantui benaknya. Setelah dua laki-laki itu pergi, Aksa keluar dari tempat persembunyiannya dengan wajah mengkerut. “Ada banyak pertanyaan mengenai Jumantara yang belum bisa aku dapatkan jawabannya,” ucap Aksa.

Seseorang menepuk pundaknya, ia adalah Nara sang resepsionis penginapan. Aksa berpikir ia telah ketara bersembunyi, tapi sepertinya tidak kalau dilihat dari raut wajah Nara. “Kapten Khun, apakah petang ini anda akan melihat lentera?”.

Aksa menangguk, mencoba menebak apa yang disembunyikan oleh Nara dibelakang punggungnya. “Setiap kali Suratma pergi untuk melihat lentera, ia sangat suka jika dibawakan ini,” Nara mengeluarkan apa yang tadi ia sembunyikan, sebuah bunga Frangipani.

“Frangipani?”.

“Suratma sangat menyukai bunga ini karena keindahannya. Tidak banyak yang mengetahui ini,”. Aksa memutar ulang kejadian pada saat mereka berada di hutan hias Sayong Bhagawan. “Mengapa Frangipani? Suratma menyukai bunga—”.

“Benar! Tulip berwarna merah,” kata Nara sambil menjentikkan jarinya. Ia lalu mengisyaratkan Aksa untuk mengambil buketnya, “Itu hanya salah satu bunga yang ia suka. Tapi yang paling Suratma sukai adalah Frangipani,”.

Aksa menganggukkan kepalanya, tangannya meraih bunga itu untuk ia cium. Wangi dari bunga Frangipani memang tidak terlalu menonjol, entah ia merasa Suratma yang indah atau bunga ini. “Kalau begitu dimana Suratma?”.

“Dia sedang bersama anak gang untuk bermain. Hari ini jadwalnya kosong. Kalau anda ingin menemaninya tinggal jalan saja lalu belok kanan,”.

Aksa menganggukkan kepalanya lagi dan setengah membungkuk yang dibalas bungkukkan dari Nara. Lalu Nara pergi untuk melanjutkan pekerjaannya meninggalkan Aksa yang mencium bunga itu sembari tersenyum.

aksasuratma✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang