Sweet But Alter Ego
"Abang harusnya nggak gitu."
Revan berdiri di depan gadis yang tengah duduk di tepi ranjang, masih dengan baju yang dipakai berangkat kuliah pagi tadi. Tatapannya teduh dan dalam, sama sekali berbeda dengan arti tatapan sang gadis yang emosi.
"Hani marah?"
"Hani kesal, bukan marah." Kening gadis itu berkerut. "Abang harusnya ngerti, kalau Abang nggak harus gitu ke Milky."
Revan mengedipkan matanya lamat-lamat. "Aku nggak boleh putus hubungan sama orang yang nggak aku suka?"
"Boleh." Hani menjawab cepat. "Abang punya hak, kalau emang Abang nggak suka Milky. Tapi alasannya kenapa harus gitu?"
"Aku hanya jujur."
Hani terdiam sejenak, lalu mengembuskan napas. "Walaupun itu kejujuran, Abang bisa cari kalimat lain. Kenapa harus bilang 'karena kamu nggak semanis Hani'?"
"Karena dia memang nggak semanis Hani," jawab Revan lugas.
Pipi gadis itu memerah samar, namun kekesalannya lebih mendominasi. "Tapi Hani jadinya yang disalahin." Mata Hani berkaca. "Hani udah bilang, Milky itu kesayangan semua orang karena dia baik, ceria dan nggak pernah cari musuh. Dan sekarang semua orang lihat Hani seolah Hani yang bikin Abang putusin Milky."
Kedua alis Revan bertaut. "Kenapa semua orang tahu?" Kepalanya meneleng ke samping. "Milky kasih tahu?"
"Ya kenapa kalau Milky kasih tahu orang-orang?"
Mata Revan berkilat. Ia menjilat sudut bibirnya ketika bayangan wajah Milky terlintas. "Menyebarkan masalah pribadi dan bikin Hani jadi kambing hitam, itu adalah salah satu ciri sifat baik?"
Hani terdiam lama, sementara Revan maju selangkah dan mengulurkan tangan, berniat untuk menyentuh kepala gadis itu. Sayangnya, sebelum jarinya sampai di tujuan, Hani sudah menghindar terlebih dahulu. Revan termangu.
"Abang pulang aja."
"Hani?"
Hani menoleh ke arah Revan sejenak, sebelum bangkit dan berjalan ke arah lemari baju. "Hani mau mandi, habis itu istirahat. Abang juga sana."
Revan mengangguk samar. Karena Hani menolak sentuhannya, maka ia menyembunyikan kepalan tangan di saku jaket. "See you, Honey."
"Hm."
Menjilat sudut bibirnya, Revan berjalan keluar dari kamar Hani. Dam bertepatan dengan itu, Ana muncul.
"Kenapa tuh, tadi muka anaknya Kakak kok cemberut? Marahan ya, Dek?"
Kilat di mata Revan meredup dan berubah lembut saat menatap kakak angkatnya yang sejak dulu tak pernah berubah memanggilnya 'Adek' itu. "Hm hm."
"Kenapa?"
"Karena aku putusin teman kuliahnya."
"Teman kuliahnya yang diputusin, kok Hani yang marah?"
"Kata Hani, temannya itu baik."
Ana mengangguk. "Terus kenapa kamu putusin gadis baik, Dek?"
"Dia nggak manis." Revan menjilat lagi sudut bibirnya. "Aku nggak tertarik."
Mulut Ana menganga. "Kalau kamu nggak tertarik, kenapa dipacarin, Dek? Lagian kapan sih jadiannya? Kok kita-kita nggak tahu?"
"Sebulan." Revan terdiam sebentar. "Disuruh Hani."
"Apa?" Ana menggeleng tak percaya. "Kamu mau jadian karena disuruh Hani?"
"Hm hm."
"Terus kalau Hani suruh kamu nyemplung ke sumur, kamu lakuin, gitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story (On Going)
Short StoryHanya berisi cerita-cerita pendek berbagai tema. Berasal dari ide-ide random yang sayang jika dibuang, tapi aku belum punya waktu untuk menulisnya dalam bentuk panjang. Kadang publish tamat, kadang hanya preview PDF. Silakan dibaca untuk mengisi ke...