Untuk Apa

664 111 2
                                    

Terkadang, hidup sebegitu kerasnya mengajak bercanda, menjadikan kita sebagai boneka yang dapat dimainkan sesukanya. Orang-orang bijak mengatakan cobaan sebagai tolak ukur kekuatan manusia. Tapi terkadang kita membelot, bibir bisa dengan mudah mengatakan bersabar, tapi hati kecil menyuarakan protes: sampai kapan?

Kesiur angin sore menerbangkan helai daun jambu yang telah kering. Burung-burung kecil mengepakkan sayap, berpulang menuju sangkar yang tersembunyi dari jamahan manusia, membawa secuil makanan untuk anak-anak mereka yang baru keluar dari cangkang. Semut-semut merayap di batang pohon, bekerja sama membawa makanan di punggung, untuk dikumpulkan dan disimpan oleh koloni mereka.

"Bahkan burung dan semut pun berguna untuk sekeliling mereka," gumamku pelan.

Aku menyunggingkan senyum miris, memandang lurus pada awan yang menjingga. Jilbabku yang tak begitu lebar—hadiah adikku di kepulangannya terakhir kali—berkibar dibelai angin. Bunga pukul empat mulai mekar, daun-daunnya sedikit bergerak bimbang.

"Benar kan tebakanku?"

Suara berat itu membuat punggungku agak menegak. Kupegang ujung jilbab, mengusapkannya pada kedua pipi yang masih basah. Mataku mengerjap perih, menyadarkanku berapa lama tangis ini kubiarkan mengambil alih kesadaran. Sosok itu tiba-tiba sudah menjulang tinggi di depanku, namun aku sedang tak ingin memperlihatkan wajah di depan siapa saja, termasuk dia.

"Harusnya Mas nggak ke sini!" Aku berusaha berkata ketus, tapi yang keluar justru suara serak dan bergetar.

Kuembuskan napas keras-keras. Aku mulai menyesali keputusanku memberitahukan tempat ini padanya, waktu itu. Karena tentu saja, dia jadi tahu satu-satunya tempat yang bisa kujadikan untuk melarikan diri.

"Kenapa lagi, hm?" tanyanya, tanpa menanggapi ucapan ketusku.

Aku menatapnya yang sudah berjongkok di depan kursiku, dengan mata berkaca-kaca. Pertanyaan kenapanya itu yang membuat tangisku terasa akan tumpah lagi. "Kalau manusia tidak tahu apa tujuan hidupnya, bukankah lebih baik dia tidak usah hidup saja?"

"Menurutmu begitu?"

Aku mengangguk kaku. Dia menatapku dengan sorot tajam, meski juga tersirat keraguan di iris kecoklatan yang sama persis dengan yang kumiliki itu. Di detik entah ke berapa kami saling melempar tatap, aku lebih dulu memutuskannya.

Kupalingkan wajah ke arah batang pohon yang masih dirayapi semut. "Aku tidak tahu apa gunaku di dunia ini."

"Begitukah?"

"Hm. Jujur saja, apa yang pernah aku beri untuk kalian selain kesusahan? Semua orang menganggapku seperti benalu yang tidak dibutuhkan. Keberadaanku seperti halnya pakaian lama yang tersimpan di sisi paling dalam lemari. Mau dipertahankan, hanya membuat ruangan sesak saja. Mau dibuang, tidak tega karena itu hadiah dari seseorang."

"Siapa yang bilang begitu, Sha? Coba katakan?" geram lelaki di depanku.

Aku tersenyum sinis, "Kalian semua, tak terkecuali Mas sendiri. Akui saja!"

"Kapan kami pernah bilang itu padamu?"

"Bukan padaku. Tapi di dalam hati kecil kalian, walaupun hanya sekilas, pasti pernah terpikirkan kalau kalian begitu lelah memelihara aku di kehidupan kalian."

Dia berdecih pelan, "Bodoh!"

"Kalian selama ini memendam itu hanya agar aku tidak sakit hati. Tapi kalau diberi pilihan, pasti kalian tidak akan mau punya aku yang bisanya hanya memberi beban!"

"Berhenti meracau, Sha!" Dia berdiri sambil menatapku marah. "Itu hanya pikiran ngawurmu saja!"

"Kalau ini hanya pikiran ngawurku, Bapak tidak akan bilang itu ke aku!" balasku.

Short Story (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang