Benang Merah 1

1.5K 173 8
                                    

"Sorry, telat!"

Perempuan berambut ikal panjang langsung duduk di satu-satunya kursi yang tersisa satelah mengucapkan kalimat itu lengkap dengan cengiran. Tiga orang yang hampir satu jam menunggunya di kafe Vinint ini menunjukkan reaksi yang berbeda-beda. Lelaki dengan jakei boomber dan ripped jeans di sebelahnya langsung memutar bola mata malas, perempuan berwajah lembut hanya tersenyum tipis dengan tatapan hangat sementara lelaki berwajah datar, menatapnya tanpa kedip.

"Kerjaan, ya?" tanya perempuan berwajah lembut itu.

Ia, Aru, mengangguk sekilas. "Ada meeting dadakan tadi sama perwakilan dari rumah produksi yang mau nyewa restoran Appa buat syuting Web Series." Lalu Aru mengamati isl meja dl deeannya. "Aku belum dipesenin apa-apa nih? Jay!" Ia menoleh ke areh lelaki berjaket boomber yang menyengir. "Tega ih! Haus, tahu."

"Minum inl dulu." Zaff, si wajah datar, mengulurkan teh leci yang baru berkurang seperempat bagian padanya. Setelah itu, lelaki itu memanggil pramusajl dan menyuruh Aru menyebutkan pesanannya.

Aru langsung meneguk habis minuman itu satelah pramusaji berlalu. "Jay jahat. Aku bilangin Oppa Gio!"

Jay mengacak rambut Aru dengan jahil. "Lagian 'ya, Bi, selera makan kamu kan tiap hari berubah-ubah. Macam bocah labil. Kan kita bingung mau meseninnya."

Ara hanya memutar bola mata. 'Bi' itu bukan panggilan ramantis. For your information, 'Bi' adalah penggalan dari 'Bibi' alias 'Tante' karena memang Ara adalah adik dari ibu Jay. Sebuah fakta yang agak lucu, karana Jay sendiri lebih tua dua tahun dari Aru. Tapi di dunia ini segala kemungkiaan bisa terjadi, bukan?

"Jee, gimana sama kampus baru kamu, seminggu ini?" Ara mulai angkat bicara, sembari menyantap makanan yang ia pesan-yang sejujurnya talak seenak buatan Appa.

"Lumayan." Jee-perempuan berwajah lembut itu-tersenyum singkat. "Dosennya ramah-ramah. Mahasiswa juga nggak aneh-aneh."

"Nggak percaya." Aru tersenyum jahil. "Pasti banyak mahasiswa yang flirting-flirting sama Ibu Dosen yang seper cantik ini?"

Dan seperti dugaannya, wajah Jee langsung memerah, membuat Aru terglak tanpa sungkan. Sedangkan Jay memutas bola mata, untuk ke sekian kali karena tingkah bibinya ini. Zaff, lelaki itu memasang wajah jengah, sedikit kesal. Oh yeah, Aru paham sekal bagaimana berlebikannya sikap overprotektif Zaffre pada seorang Jeevika.

"Jee mau kerja, Bi. Bukan cari jodoh."

"Sambil menyelam minum air, dong, Jay." Aru terkikik. "Daripada jomlo mulu, Jee, mending buka hati sama mahasiswa atau dosen di sana." Ia membiarkan Jay-yang sedang memasang wajah kesal-membelokkan sendok yang sudah dekat dengan bibir, ke mulut lelaki itu. "Eh, dosennya ganteng-ganteng nggak?"

Jee mengulum senyum. "Beberapa, sih."

Aru mengerling jahil. "Bolehlah nanti ajak aku ke kampus kamu. Punya rekan kerja good looking itu jangan pelit."

"Ganjen amat nih bibi gue!" Jay meraup wajah Aru dengan kesal.

"Dih, suka-suka dong, jomlo ini."

"Duh." Jaa menyentuh dada sambil memasang wajah terluka. "Ada yang pecah tapi bukan kaca."

Aru terbahak, menepuk-nepuk bahu keponakannya. "Udah dibilang jangan jatuh cinta sama Bibi, Ganteng. Sakit hati sendiri jadinya."

"Ya gimana lagi? Susah punya bibi yang cantiknya terlalu sayang buat diabaikan." Jay menangkup wajah Aru, sedikit menguyel-uyel. "Kapan panggilan 'Bibi' bisa aku ubah jadi 'Baby'?"

"Sampai ada sepasang suami istri yang datang ke rumah Oppa Gio sama Eonni Aecha, dan kasih tahu kalau Jaylin Arkatama ini sebenarnya anak kandung mereka. Kalau saat itu tiba, mungkin aku bisa mempertimbangkan kamu jadi pasangan." Aru mengedip- ngedipkan mata, tanpa tahu bahwa seseorang makin tak berkedip menatapnya.

Short Story (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang