Virginia 1
Kalian pasti tahu tentang dongeng Cinderella, bukan? Iya, tentang gadis desa yang diperlakukan buruk oleh ibu dan kedua saudara tirinya lalu datanglah pangeran tampan menikahinya. Sebuah kisah indah yang diidamkan setiap perempuan, bukan? Dan aku beruntung bisa mengalaminya dalam dunia nyata. Setidaknya itu yang dikatakan oleh orang-orang, termasuk ibu dan dua saudaraku—yang mempunyai sifat berbanding terbalik dengan ibu dan dua saudara tiri Cinderella.
Lalu siapakah pangeran tampan baik hati yang menikahiku itu? Dia adalah pria itu, yang kini sedang melahap nasi hangat berlauk telur dadar dan tumis buncis tanpa banyak bicara. Yang sedari tadi diam-diam kulirik, sembari aku menyantap sarapan juga.
"Saya lembur." Itu yang dia katakan setelah kami selesai makan. Dia melirikku sambil membenarkan dasinya. "Jangan menunggu."
Aku hanya mengangguk tanpa banyak bertanya. Kalimatnya yang mengatakan 'jangan menunggu' adalah bentuk lain dari 'makan malam dan tidurlah lebih dulu'. Setidaknya itu yang ada di pikiranku.
"Ini bekalnya, Mas."
Dia langsung menerima paper bag berisi kotak makan siang yang telah kupersiapkan. "Saya berangkat."
Aku buru-buru mencium punggung tangannya, sebelum dia benar-benar berlalu dari ruang makan dan keluar dengan langkah lebar-lebar. Tidak ada ciuman di kening, pelukan hangat atau bahkan sekadar senyum. Mesin mobilnya terdengar menjauh, dan aku masih termenung.
Beginikah kehidupan sehari-hari Cinderella dan Prince Charming? Kaku dan tak ada kehangatan sedikit pun? Kurasa tidak. Dalam bayanganku, mereka hidup dengan rasa manis yang didapat setiap harinya. Dan ternyata berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kisah Virginia yang dinikahi Fahrizal—Cinderella versiku.
Masih teringat jelas setahun lalu ketika Mas Rizal datang ke rumah bersama kedua orang tuanya, lalu mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Hal yang membuat Linda dan Cintami—kedua kakakku—memekik heboh. Bagaimana tidak? Dulu Mas Rizal adalah senior mereka semasa kuliah dan menjadi idola para gadis. Bukan hanya itu saja, di lingkungan kami pun, Mas Rizal terkenal karena merupakan anak bungsu dari seorang pengusaha pabrik tekstil terkenal. Dan karena belum memiliki seseorang, aku menerima lamaran itu setelah salat istikharah.
Satu hari setelah pernikahan—yang diadakan sebulan setelah lamaran—, ibu mertuaku bilang bahwa lamaran itu atas dasar keinginan Mas Rizal sendiri. Katanya, Mas Rizal mengenalku sebagai guru dari Nabila—keponakannya yang belajar di bimbel tempatku mengajar. Dulu Mas Rizal beberapa kali menjemput Nabila dan gadis tiga belas tahun itu selalu semangat menceritakan tentangku.
Berdasarkan cerita ibu mertua, aku menyimpulkan bahwa Mas Rizal memang tertarik denganku. Karena itulah aku bertekad untuk menumbuhkan cinta kepadanya. Dan ternyata itu bukanlah hal yang sulit. Dengan cepat, aku jatuh cinta kepadanya.
***
Mas Rizal itu kaku dan jarang bicara. Selama hampir satu tahun pernikahan, jarang sekali kami mengobrol panjang atau sekadar menghabiskan waktu luang dengan duduk berduaan. Hanya di saat-saat tertentu saja kami berdekatan intim, contohnya saat berhubungan suami istri. Mas Rizal akan menjadi sosok hangat dan penuh kelembutan saat itu. Dan setelahnya, dia akan kembali berubah dingin dan tak tersentuh. Kupikir itu memang sifatnya, jadi aku berusaha memaklumi. Yang terpenting, dia menyayangiku dalam diamnya.
Setidaknya itu yang kupikirkan hingga di suatu siang, aku datang ke pabrik untuk mengantarkan makan siangnya yang ketinggalan.
"Bilang sama aku, Zal, kamu harus jujur!"
"Nggak ada yang harus dibicarakan lagi, Tania."
Aku menghentikan langkah di depan ruang kerja Mas Rizal, karena sepertinya ia sedang berdebat di dalam sana. Suasananya tidak baik. Lagipula aku mengenal Tania, karena wanita itu adalah sepupu Mas Rizal sendiri.
"Ada, Zal, ada! Kamu harus jujur soal Virgi!"
Ucapan Tania-lah yang membuatku urung untuk balik badan. Kupikir, tidak ada salahnya mendengarkan karena sepertinya itu berkaitan denganku.
"Jangan bawa-bawa Virgi lagi, Tan." Suara Mas Rizal terdengar tegas.
"Tapi memang masalahnya dia, kan, Zal? Kamu yang seharusnya nggak bawa-bawa dia dalam masalah kita dulu."
"Jangan bicara sembarangan!"
"Aku berkali-kali minta maaf karena nolak lamaran kamu dulu, Zal, apa itu belum cukup? Tolong lepaskan Virgi sekarang."
Keningku berkerut. Lepaskan Virgi?
"Buat apa aku melepaskan Virgi? Dia istriku!"
"Tapi kamu nggak cinta dia. Kamu pikir aku nggak tahu? Kamu nggak cinta dia, Rizal! Kamu lamar dia sebagai pelampiasan karena aku nolak kamu. Kamu bohongin semua orang dan mengaku seolah mencintai Virgi, tapi nyatanya kamu cuma jadiin dia pelampiasan! Iya kan, Zal? Kamu nggak bisa bohongin—"
"BENAR!"
Jantungku seperti dipukul benda tak kasat mata saat Mas Rizal meneriakkan itu. Kupeluk paper bag erat-erat sambil mundur selangkah.
"Aku memang frustrasi karena kamu nolak lamaranku. Aku butuh pelampiasan dan saat itu yang sering kulihat adalah Virgi. Nabila sering menceritakan tentang dia dan aku memutuskan buat nikahin dia. Aku jadiin Virgi sebagai pelampiasan. Puas?!"
Sudah cukup penjelasan itu dan tanpa sadar aku benar-benar membalikkan badan dan masuk ke toilet terdekat. Menumpahkan tangisku di sana, seperti karakter lemah dalam sebuah cerita atau film. Tidak. Seharusnya aku tidak mendengar hal seperti ini. Lebih baik aku tidak tahu karena dengan begitu, dadaku tidak akan sesakit ini. Benar, bukan? Seharusnya aku datang nanti-nanti, setidaknya ketika Tania sudah pergi dari sana.
***
Kalian bisa baca Virginia secara lengkap dalam bentuk PDF atau di Karyakarsa dengan harga 5k. Atau bisa mendapatkan dengan gratis jika kalian membeli salah satu PDF Septi Nofia Sari dkk. Chat on: 082213778824 (PutriPermatasari916
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story (On Going)
ContoHanya berisi cerita-cerita pendek berbagai tema. Berasal dari ide-ide random yang sayang jika dibuang, tapi aku belum punya waktu untuk menulisnya dalam bentuk panjang. Kadang publish tamat, kadang hanya preview PDF. Silakan dibaca untuk mengisi ke...