Udan Kethek

985 143 16
                                    

*udan= hujan dalam bahasa Jawa

*kethek= monyet dalam bahasa Jawa

*

Jingga tergores patah-patah di permukaan karpet putih yang terbentang mengatapi bumi. Gerimis kecil masih turun, setiap tetesnya berkilauan karena cahaya mentari sore yang tetap terpancar meski gumpalan itu sedari beberapa jam lalu menangis.

Udan kethek. Itu sebutan anak-anak di kampung dulu untuk hujan yang turun di tengah sinar matahari. Ranti tak tahu apa hubungannya hujan itu dengan kethek, karena ia tak pernah melihat monyet-monyet ikut turun dari langit. Hujan salju menurunkan salju. Hujan air menurunkan air. Tapi hujan monyet sama sekali tidak menurunkan monyet.

Tapi udan kethek selalu berhasil membuat Ranti termenung sejenak. Ada kenangan tersendiri. Bukan karena ia yang terpilih sebagai satu-satunya manusia yang bisa melihat kethek-kethek itu bergelantungan di tirai-tirai hujan bermandikan cahaya matahari. Bukan juga karena ia mendapatkan kisah romantis cinta pertama di momen itu. Tapi karena hujan itu mengingatkannya pada Bapak. Laki-laki yang telah lama tak ditemuinya.

"Mbak?"

Usapan di bahu membuat Ranti tergeragap, mengalihkan pandangan dari hujan di luar, ke arah lelaki muda yang duduk di sebelahnya. Ia termenung lagi, tapi kali ini getaran itu makin terasa. Terutama sejak mereka memutuskan berbicara di dipan teras rumah.

"Maaf, aku tak bisa." Ranti membuang muka, meremas kesepuluh jemari yang saling bertaut.

"Sampai kapan, Mbak? Kasihan Paman."

Ranti menoleh pada lelaki itu, tersenyum sinis. Ada banyak kalimat kasar bertebaran di kepala, tapi yang keluar dari sela bibirnya hanyalah, "Anakku sedang sakit, Man. Aku tidak bisa bepergian kemana-mana."

"Setidaknya tunggu sampai Ica sembuh kan bisa, Mbak. Paman mencari Mbak Ranti."

"Mencari?" Ranti membuang muka. "Untuk diapakan? Tidak ada yang tersisa di sekujur tubuhku untuk dilukai lagi. Jadi sampaikan padanya, maaf mengecewakan dia."

"Melukai apanya, Mbak? Bahkan menyuap makanan saja Paman sudah tidak mampu!" tukas Arman tajam.

Ranti berdecih. Bibirnya bergetar. Ralat, sekujur tubuhnya bergetar. Kedatangan Arman yang memberitahu bahwa Bapak mencarinya, dengan turunnya udan kethek adalah kombinasi yang sangat pas untuk membangkitkan ketakutannya.

Adik sepupunya ini tidak akan mengerti, betapa dua belas tahun belumlah cukup untuk menyembuhkan segalanya. Dua belas tahun. Ya, selama itu ia tidak pernah bertatap muka dengan lelaki yang dulu mengadzaninya saat baru dilahirkan. Waktu yang lama menurut orang-orang, namun sangat singkat untuknya.

"Bagaimana pun dia adalah ayah Mbak Ranti."

"Ya," Ranti mengangguk lelah. "Aku tidak akan melupakan itu. Seorang ayah yang memberi kasih sayang kepada anak semata wayangnya dengan cara berbeda."

Pada akhirnya, Arman menyerah. Meninggalkan rumah mungil itu setelah berpamitan kepada Budi yang sedari tadi memilih menunggui Ica yang demam di kamar, memberi kedua saudara sepupu itu membicarakan masalah keluarga. Tapi Ranti masih tetap termenung di luar, memandangi tiap tetes air yang menerpa tanah.

Ranti tidak akan pernah lupa. Masa kecil yang penuh canda tawa adalah impian yang tak pernah terkabul sampai usianya dewasa. Semua karena Bapak yang membesarkannya dengan kekerasan. Dulu tidak begitu. Setidaknya sampai umurnya delapan, Bapak masih seorang ayah ideal. Membelikan mainan, mendongengkan kisah 25 nabi, memeluknya saat turun hujan deras di malam hari.

Tapi sejak Ibu pergi dari rumah bersama lelaki lain, tabiat Bapak semakin menakutkan. Setiap harinya, tak pernah terlewat tubuh Ranti jadi bahan pelampiasan kekesalan Bapak. Awal-awal hanya sedikit cubitan, lalu jeweran, lalu semakin bertambah umurnya semakin besar pula kekerasan yang diterimanya.

Short Story (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang