Dreamlove 1

876 162 4
                                    

Sepanjang duduk di dalam mobil taksi, aku tidak repot-repot untuk menunjukkan kekesalan meski Ibu terus menegur. Ya mau bagaimana? Dititipkan ke rumah kerabat hanya karena akan ditinggal Ibu merawat Eyang di Magelang selama waktu yang tidak bisa ditentukan, bukanlah keinginanku. Tentu saja karena sekarang aku genap delapan belas tahun, sudah bukan waktunya dititipkan seperti anak kecil. Tapi mana mau Ibu mengalah kepadaku? Apalagi Ayah yang ada di beda pulau sana juga ikut berposisi di pihak Ibu.

Dan di sinilah kami sekarang, di depan pintu sebuah rumah berlantai dua dengan dinding perpaduan cat putih dan abu-abu tua. Masih merengut, aku meletakkan koper kecil di tanah berpaving dan memeluk erat Bubu—boneka burger—yang tadi hanya kupegang satu tangan.

"Jangan cemberut terus, Dek. Nggak malu nanti dilihat Mas Reki?"

"Biarin." Tapi tak urung, aku meluruskan bibir agar tidak tertekuk lagi.

Setelah ketiga kalinya Ibu menekan bel, pintu di hadapan kami akhirnya terbuka, menampilkan sosok Tante Sinta, yang kukenali sebagai kakak sepupu Ibu.

"Eh, Dek Ida, Vivi, sudah sampai? Maaf barusan lagi di toilet. Nggak lama 'kan nunggunya?"

"Nggak kok, Mbak. Kami baru sampai," jawab Ibu sambil membiarkan Tante Sinta melakukan cipika-cipiki dengannya. Sementara aku langsung mencium punggung tangannya.

"Ya sudah yuk, mari masuk." Tante Sinta merangkul erat bahuku. "Ayo anak cantik, kita masuk ke tempat tinggal baru kamu."

Aku hanya meringis, mengikuti langkah Tante Sinta dengan satu tangan menggeret koper. Ibu yang di belakangku hanya menyengir saat aku menoleh.

"Duduk dulu, ya." Tante Sinta menuntunku untuk duduk di salah satu sofa. "Diambilin minum dulu."

"Eh, nggak usah, Mbak." Ibu buru-buru mencegah. "Habis ini aku harus langsung ke terminal. Bisnya berangkat satu jam lagi."

"Masih ada waktulah buat sekadar minum." Tante Sinta mengibaskan tangan. "Vivi mau minum apa?"

"Apa aja, Tante."

"Oke."

Selepas kepergian Tante Sinta, aku menoleh kepada Ibu. "Ibu jangan lama-lama ya di Magelang. Aku nggak mau kelamaan dititipin."

"Ya makanya dibanyakin berdoanya biar Eyang cepat sembuh."

Aku hanya mengangguk sambil cemberut. Melihat Ibu yang menelepon Ayah, aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Kedua lenganku masih setia memeluk Bubu. Mataku mengerjap ketika melihat sosok yang baru muncul di anak tangga teratas, sedang melangkah turun. Kepalanya menunduk dan seperti sedang fokus ke ponsel sehingga tidak menyadari keberadaan kami. Menggigit bibir, kurapatkan duduk ke arah Ibu.

"Nah, es jeruk datang." Tante Sinta muncul dari ruang belakang dan membawa tiga gelas es jeruk. "Minum dulu, anak cantik."

"M-makasih, Tante." Kuterima gelas itu dan meneguk isinya sedikit.

"Sama-sama." Tante Sinta baru akan berbicara lagi tapi terhenti dan tiba-tiba menoleh ke arah kanan. "Mas Reki, sini lho. Vivi sudah datang."

Mas Reki mendongak dan matanya menemukanku. Dan seperti selalu, dia langsung berjalan mendekat, mencium punggung tangan Ibu sebelum kemudian duduk di sebelahku. Aku semakin bergeser ke arah Ibu, karenanya.

"Hai." Dengan wajah kalem khasnya, Mas Reki menyapa sambil mengacak rambutku. Aku tersenyum tipis saja.

"Terima kasih, Mbak Sinta, sudah bersedia menerima Vivian." Ibu memulai bicara. "Ayah Vivi baru pulang tiga bulan lagi.  Sedangkan aku nggak bisa memprediksi kapan bisa pulang ke sini. Ya seperti yang aku ceritakan, Mbak, kesehatan Ibu sedang menurun. Adik iparku juga sedang hamil tua, kasihan kalau nggak ada yang bantu merawat Ibu. Dan Vivi, Mbak tahulah gimana ceroboh dan manjanya anakku satu-satunya ini."

Kalimat terakhir Ibu membuatku cemberut, sedangkan Tante Sinta tertawa sambil mengangguk seolah setuju. Ibu memang sukanya begitu, menyebarkan aibku.

"Jangan cemberut." Bisikan Mas Reki membuatku menoleh kepadanya. Dia tersenyum tipis. "Kamu emang manja."

Lagi, aku hanya mencebikkan bibir tanpa menjawab apa-apa kepadanya.

"Sebenarnya aku maunya ajak Vivi ikut, Mbak." Ibu kembali melanjutkan. "Tapi dua hari lagi harus OSPEK. Belum lagi kejadian perampokan di rumah tetangga seminggu lalu, bikin aku nggak tega membiarkan Vivi tinggal sendiri. Jalan satu-satunya ya merepotkan Mbak Sinta dan Mas Reki."

"Nggak merepotkan, lho, Dek Ida." Tante Sinta menjawab sambil tersenyum ramah. "Justru aku senang kalau Vivi di sini. Tahu sendiri Mas Reki sibuk sama game, bahkan kadang berbulan-bulan nginep di asrama. Aku nggak ada teman. Kalau Vivi di sini 'kan aku nggak kesepian." Tante Sinta lalu menoleh ke arahku. "Vivi mau 'kan, temani Tante?"

"Iya, Tante." Aku menyengir.

"Terima kasih, Mbak." Ibu menatap Mas Reki. "Mas Reki, Vivi kan nanti sekampus sama kamu, jadi Tante titip Vivi ya. Tolong diawasi."

"Iya, Tante."

"Kalau begitu, Mas Reki tolong antar Vivi ke kamarnya ya."

Aku melihat Mas Reki mengangguk, kemudian berdiri dan mengambil koperku. Dengan ogah-ogahan, aku bangkit dan berjalan mengikutinya. Kami naik ke lantai dua, di mana ada ruang terbuka berisi televisi dan satu meja tempat sebuah komputer berada, juga dua pintu saling berhadapan yang kutebak merupakan kamar. Mas Reki membuka pintu warna biru muda dan menyuruhku ikut masuk. Nuansa girly langsung menyambut. Dinding bercat biru muda dengan interior almari dan meja belajar kayu bercat putih terlihat begitu memanjakan mata.

"Suka?"

Mataku mengerjap, begitu menyadari Mas Reki sedang menatapku geli. Yah, tadi dia pasti menangkap wajahku yang semringah. Berdeham, aku mengangguk.

"Sini duduk."

Bergerak duduk di tepi ranjang, aku memeluk erat si Bubu. Sedangkan Melihat Mas Reki yang sedang menaruh koper di dekat nakas, aku menghela napas. Aku tidak menyangka akan tinggal sementara di sini, saat masih dalam masa jaga jarak dan kontak dengan laki-laki ini. Aku harus menyalahkan siapa? Eyang yang sedang sakit? Panitia OSPEK yang memajukan jadwal? Atau perampok yang membuat Ibu dan Ayah tidak tega membiarkanku di rumah sendirian?

"Jadi,"

Aku spontan melirik ketika Mas Reki bersuara dengan nada menggantung. Dia berdiri di depanku, melipat kedua lengan di depan dada.

"Kenapa dari tadi cemberut?"

Melipat bibir, aku menggeleng. "Nggak apa-apa."

Sebelah alis Mas Reki terangkat. "Sedih karena ditinggal?"

Aku tak menjawab dan hanya melarikan pandangan ke arah lain. Tiba-tiba terdengar dering ponsel. Ketika melirik, tak sengaja mataku menangkap nama Vania di layar ponsel yang dipegang Mas Reki.

"Bentar." Mas Reki mengacak-acak rambutku dan pergi keluar kamar begitu saja, menjawab telepon.

Menghela napas lagi, kucengkeram erat si Bubu. Nggak bisa, ya, aku batal tinggal di sini?

***

Short Story (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang