1. Tangan Tuan Putri Yang Kotor
Ia mendongakkan kepala, memandangi bangunan yang berdiri kokoh di depan mereka. Rumah berlantai dua dengan cat hijau telur asin yang didesain minimalis, tak lebih besar dari tempat tinggalnya. Di bagian depan dilindungi pagar besi bercat putih setinggi dada orang dewasa, yang saat ini terbuka dari dalam dan menampakkan sesosok paruh baya dengan seragam sekuriti melekat di badan. Orang itu berjalan tergopoh, menghampiri mereka.
"Mbak Nawa dan Ibu Rani?" tanya lelaki itu, dengan senyum kecil tersungging di bibir.
"Benar, Pak. Saya Rani dan ini anak saya, Hernawa, Nawa." Tentu Ibu mengetahui keengganan Hernawa dalam membuka mulut, makanya dengan cepat mewakili.
"Perkenalkan saya Yanto, satpam yang bekerja dengan Bapak."
"Oh iya, Pak, salam kenal."
"Bapak dan Dek Taksa sering bercerita tentang Mbak Nawa pada saya. Katanya Mbak Nawa ini cantik." Pak Yanto tersenyum ramah, yang dibalas tanpa ekspresi oleh Hernawa. "Ternyata benar, Mbak Nawa cantik."
Hernawa tidak peduli itu benar atau memang hanya basa-basi, tapi ia sangat ingin masuk ke dalam rumah itu. Karena semakin cepat masuk, melakukan entah apa yang dijanjikan Ibu dengan Ayah, lalu ia bisa secepatnya pulang dan terlepas dari hal yang sebenarnya ingin ia hindari ini.
"Bapak sudah di rumah?"
"Oh sudah, Bu. Bapak sudah pulang kerja sore sekali. Katanya ingin siap-siap karena Mbak Nawa mau datang. Dek Taksa malah, mandi dan dandan dari siang, 'Kakak mau datang', katanya."
Ibu tertawa, sebagai formalitas. Sementara Hernawa tersenyum, sinis.
"Wah mohon maaf kalau saya malah bicara ngalor ngidul, Bu, Mbak, mari saya antar masuk."
Dan begitulah, Hernawa dan Ibu memasuki gerbang rumah itu, dipimpin Pak Yanto. Hernawa bisa melihat halaman depan yang dihiasi berbagai macam tanaman hias di dalam pot berjejer. Lalu di sebelah kanan, ada sebuah mobil sedan warna hitam dan sepeda motor matic terparkir di sana. Ia kenal mobil itu adalah milik Ayah, sementara motor ... entahlah.
Memasuki ruang tamu, Hernawa melihat satu set sofa beserta meja bulat menghiasinya. Lalu di atas sofa panjang, ada sebuah bingkai besar menampilkan potret sepasang pengantin yang tampak tersenyum bahagia. Melihat itu, sebuah senyum tersungging di bibirnya, lagi. Namun berbarengan dengan telapak tangan yang meremas kuat-kuat ujung kardigan miliknya. Hantaman yang ia rasakan enam tahun lalu di dada, ternyata sama sekali belum berkurang. Ia sedikit gemetar, namun berusaha kuat. Jika bukan karena permohonan Ibu, tak mungkin ia sudi menginjakkan kaki di rumah ini.
"Pak Petra, Mbak Nawa sudah sampai."
Hernawa menoleh, tersadar dari lamunan menyesakkan, hanya untuk melihat bagaimana sosok tegap dengan rambut yang mulai memutih di beberapa bagian itu, tersenyum lebar menyambutnya.
"Sudah sampai, Nak?" Petra Bentala melangkah dan memberi pelukan singkat pada Hernawa sebelum duduk di sofa. Memandangnya dengan sorot bahagia yang sama sekali tak Hernawa suka. "Maaf ya, Ayah maksa Nawa makan malam di sini."
Hernawa hanya mengangguk singkat. Ayah lalu memanggil asisten rumah tangga dan meminta tolong untuk disajikan makanan dan minuman.
"Apa kabar Rani?"
"Ah, baik, Mas. Kalian sendiri apa kabar? Aku dengar Hera lagi kurang sehat ya?"
"Iya, makanya saya belum bisa ke rumah menemui Nawa selama dua bulan terakhir ini. Dan terpaksa suruh kalian yang datang ke sini. Maaf, ya."
"Ah, nggak masalah kok, Mas. Nawa juga nggak keberatan. Iya kan, Sayang?"
Hernawa hanya tersenyum singkat. Ia heran, mengapa manusia harus memakai topeng dalam kehidupannya? Kenapa tidak bisa bebas memperlihatkan sifat dan apa yang tersimpan di hati? Mengapa Ibu juga harus menjadi salah satu di antaranya? Dan ia pun melakukannya demi ketenangan Ibu. Lucu sekali, bukan?
"Nawa, Mbak Rani, kalian sudah sampai?"
Satu suara lain muncul bersama sesosok tubuh wanita yang jauh lebih muda dari Ibu. Dengan gamis merah muda dan jilbab senada. Dan ekspresi datar Hernawa berubah dingin. Sebelah tangannya diraih Ibu, digenggam agar tenang.
"Iya, baru sampai ini." Ibu menjawab singkat.
Perempuan itu tersenyum ramah, duduk di sebelah Ayah. Lalu asisten rumah tangga tadi kembali muncul dengan banyak camilan, juga minuman.
"Silakan diminum." Perempuan berjilbab memandang Ibu dan Hernawa bergantian. "Maaf ya, rumahnya sederhana."
"Enggak kok, Ra. Bagus malah." Ibu menjawab penuh basa-basi. "Oh ya, bagaimana kondisi kamu sekarang? Katanya lagi kurang sehat ya?"
"Aku baik kok, Mbak. Alhamdulillah. Doakan aja biar cepat pulih seperti semula."
"Tentu. Kalau boleh tahu, kamu sakit apa?"
"Kanker rahim, Mbak." Hera tersenyum tipis, sementara Ayah menepuk-nepuk punggungnya sebagai upaya memberi ketenangan. Semua itu tak luput dari pandangan Nawa.
"Astaga." Ibu menutup mulut dengan sebelah tangan. "Semoga cepat sembuh ya, Ra."
"Terima kasih, Mbak."
Ya, Nawa bisa melihat wajah pucat Hera dipenuhi kesedihan. Tapi ia bukan Ibu yang bisa membangkitkan simpati dengan paksa. Ia tidak bisa ikut bersedih sementara hatinya hampa, sama sekali tidak ikut sedih atas apa yang menimpa ibu tirinya itu.
"Kakak."
Suara kecil itu membuat Nawa menoleh, ke arah sosok mungil yang berdiri di anak tangga terbawah, dengan sebuah pot seukuran cangkir kopi di pelukan.
"Dek Taksa, ayo salim sama Kakak dan Tante."
Anak laki-laki berumur lima tahun itu berjalan pelan menuruti perintah Ayah. Berhenti di depan Ibu dan mengulurkan tangan untuk bersalaman.
"Halo, Tante," sapanya, dengan suara kecil dan malu-malu.
"Halo, Taksa." Ibu membiarkan Taksa mencium punggung tangannya. "Pintarnya."
"Terima kasih, Tante." Anak itu tersenyum tipis, lalu mata bulatnya menatap Nawa. "Kakak."
Nawa mengepalkan tangan. Menatap datar pada tangan mungil yang masih menggantung di depannya. Diliriknya Ayah dan Hera yang menatapnya penuh harap, juga Ibu yang memberinya kode untuk menerima uluran tangan Taksa. Kepalan tangan Nawa semakin menguat hingga kulitnya terluka oleh kuku. Ia baru membuka mulut untuk memberi penolakan seperti biasa, ketika seseorang muncul dari arah dapur.
"Tangan Tuan Putri lagi kotor, Sa. Lain kali aja ya, salimnya."
Bibir Nawa mengatup rapat. Ia lirik tajam lelaki yang berdiri menyenderkan pundak di kusen pintu itu. Nabastala.
"Benar, Kakak?" Mata bulat Taksa mengerjap dengan sendu, membuat Nawa membuang muka.
"I-iya, Sayang, tangan Kakak kotor." Hera, dengan suara lirihnya, menyahut. "Ayo Taksa, sini."
"Tapi Bunda,"
"Eh kita makan dulu, yuk?" Tiba-tiba Ayah menginterupsi, berjalan dan menggendong Taksa dengan mudah. Menatap Nawa dengan sorot terluka yang tak digubris oleh perempuan itu. "Ayo, Sayang, kita makan dulu."
Ayah berlalu, diikuti Hera yang berjalan tertatih dengan kepala menunduk. Ibu menghela napas berat, menatap Nawa lelah. Nawa sendiri masih berekspresi datar, membuat Ibu menepuk-nepuk bahunya.
"Makan malam dulu, biar kita cepat pulang." Lalu Ibu menyusul ke ruang makan.
Nawa mendesah, menggosok telapak tangan di permukaan rok, sebelum berdiri. Dengan tanpa ekspresi, ia melewati Nabas yang masih berdiri di tempatnya tadi. Tapi tepat ketika ia sampai di sisi lelaki itu, lengannya dicekal. Ia menoleh, bersiap memuntahkan kekesalan tapi urung saat melihat cara Nabas menatapnya. Mata lelaki berkilat tajam, menghunus iris kecokelatan milik Nawa serupa belati. Namun kontra dengan itu, bibirnya menyunggingkan senyum lebar.
"Tangan Tuan Putri mau dibersihkan dulu, biar nggak kotor?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story (On Going)
Storie breviHanya berisi cerita-cerita pendek berbagai tema. Berasal dari ide-ide random yang sayang jika dibuang, tapi aku belum punya waktu untuk menulisnya dalam bentuk panjang. Kadang publish tamat, kadang hanya preview PDF. Silakan dibaca untuk mengisi ke...