[51] Lamaran

39 4 3
                                    

Juni, 2026.

Arga turun dari mobilnya bersama papa dan mamanya. Hari ini dia berpakaian serba rapi, mengenakan kemeja batik, celana kain berwarna hitam, dan sepatu berwarna hitam. Kakinya dilangkahkan secara terburu-buru untuk menuju bagasi mobil. Dia mengambil sebuah parsel yang terbungkus rapi, lantas berjalan kembali ke tempat orang tuanya berasa.

Mata Arga tidak luput dari pandangan takjub melihat suasana rumah Denisa. Rumah yang begitu sederhana dengan pepohonan yang rindang, membuat Arga begitu nyaman.

Hari ini Arga begitu bahagia. Bagaimana tidak, dia mendatangi rumah Denisa di Sukabumi untuk pertama kalinya, dengan mengantongi keberanian sebagai pria sejati. Namun, tidak dapat dia pungkiri juga, saat ini jantungnya berdegup sangat kencang. Arga cemas dan risau. Dia takut jika acara hari ini tidak akan berjalan sesuai rencananya.

"Berperilakulah seperti laki-laki sejati, jangan membuat papa malu," ucap papa Arga dengan tegas.

Arga menghela napas panjang. Seperti perintah papanya, dia akan mencoba untuk berperilaku layaknya pria sejati. Hari ini mereka datang atas kemauan Arga, yang berarti dia harus mempertanggungjawabkan keinginannya.

Dengan langkah pasti, Arga berjalan menuju pintu rumah Denisa. Di sana, ada beberapa orang yang berkumpul, sambil duduk melingkar. Arga, papanya, mamanya, dan dua orang yang dibawanya, memberikan senyuman kepada hadirin yang datang. Senyuman tersebut disambut baik oleh sang tuan rumah.

"Akhirnya Arga sekeluarga sampai juga. Kami di sini sempat cemas kalau sekiranya ada hambatan di jalan, seperti macet atau nyasar. Takutnya acara sakral ini tertunda," kata ibu Denisa kepada keluarga Arga.

Mama Arga mengulumkan senyumannya. "Alhamdulillah, tidak, Bu. Jalannya malah lancar sekali tadi. Sepertinya alam sedang mendukung iktikad baik kita."

Ibu Denisa dan mama Arga saling berbincang-bincang, seperti sudah saling akrab satu sama lain. Sedangkan papa Arga hanya dapat menelan ludah karena di tidak ada satu orang pun yang cocok untuk diajaknya bicara. Apalagi Arga tidak hentinya celingak-celinguk, mencari keberadaan Denisa.

"Baik, apa bisa langsung kita mulai saja acaranya?" tanya Kardin, salah satu orang kepercayaan yang Arga bawa untuk mengutarakan niat baiknya kepada Denisa.

"Silakan, Pak."

Kardi mengambil mikrofon yang terletak tidak jauh dari tempatnya berada. Setelah itu, dia menaruh pandangan ke Arga untuk meminta persetujuan dalam memulai acara. Arga mengangguk mantap.

"Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh," ucap Kardi memulai acara dengan salam.

"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh," jawab seluruh hadirin yang berada di rumah Denisa.

"Alhamdulillah, malam ini kita dapat berkumpul di tempat ini untuk melakukan silaturahmi antara dua keluarga yang Insyaallah akan segera melebur menjadi satu keluarga dalam tali pernikahan. Pertama-tama, saya ingin berterima kasih kepada Bapak Wiryawan karena telah bersedia meluangkan waktu untuk menyambut kedatangan kami. Di sini saya mewakili Bapak Harun Prahutama, ingin menyampaikan niat untuk mengkhidbah atau meminang putri dari Almarhum Bapak Wiryawan yang bernama Denisa Dwi Rahmatya."

Ibu dan kakak Denisa hanya manggut-manggut mendengar tujuan dari kedatangan keluarga Arga. Mereka menerima rencana keseriusan Arga dengan tangan terbuka karena sesuatu yang baik memang harus disegerakan.

"Sebagai buah tangan dari pinangan ini, kami membawa beberapa bingkisan. Ada perhiasan, peralatan mandi, peralatan tidur, dan sejumlah uang. Mohon jangan dinilai dari jumlah bingkisan ini, tetapi nilailah dari keseriusan kami dalam memberi. Di sini juga ada cincin yang dimaksudkan saudari Arga untuk mengikat saudari Denisa."

Bangish (Badboy Nangish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang