[46] Patah

35 3 10
                                    

"Papa sudah pernah mengingatkan kamu untuk fokus pada pendidikanmu. Serap ilmu semaksimal mungkin dan empaskan semua hal yang mengganggu perkuliahanmu. Bahkan kita sepakat agar kamu tidak pulang dulu ke Jakarta karena itu akan membuat fokusmu bercabang. Kalau kamu rindu, mama dan papa akan mengusahakan ke Semarang. Lalu, memgapa kamu mengingkari kesepakatan kita, Arga?"

Arga hanya dapat terdiam, tanpa berani menatap mata papanya. Mulutnya terus membuka-tutup, seperti hendak membela dirinya. Akan tetapi, Arga sangat paham tentang jalan pikiran papanya. Papanya hanya peduli terhadap masa depan Arga, tanpa ingin tahu bagaimana lelahnya Arga dalam belajar.

Papa Arga tidak lagi melarang Arga untuk berhubungan dengan Denisa. Pria paruh baya itu sepenuhnya mendukung hubungan mereka, asal Denisa dapat membawa dampak positif untuk pendidikan Arga. Sayangnya, batasan yang papa Arga berika secara tidak langsung memanjangkan jarak sntara Arga dan Denisa, yang membuat Arga tersiksa sendiri.

Sekuat tenaga Arga meneguhkan hati. Meski dia ingin sekali melawan, tetapi sadar bahwa ini adalah salahnya. Dia yang lalai dan mengingkari kesepakatan yang sudah disetujuinya bersama papanya. Bahkan Arga telah terbawa oleh keadaan, yang membuat dirinya merugi.

"Tadinya papa dan mama mau menyusul kamu ke Jakarta, kami ingin membicarakan dokumen yang kamu kirimkan kemarin. Mama dan papa merasa perlu untuk andil dalam penyimpangan yang telah kamu lakukan," kata papa Arga lagi, makin menyudutkan Arga.

Penyimpangan. Satu kata yang terdengar umum, tetapi dapat membuat Arga merasa nilainya teramat buruk di mata papanya. Arga tertawa miris. Setelah semua pengorbanan yang dilakukannya, papanya tidak juga dapat menghargainya.

"Kamu harus putuskan hubunganmu dengan Denisa. Hubungan kalian hanya membuat pikiran kamu terfokus pada Denisa, sehingga tidak fokus pada tujuanmu," ucap papa Arga. Pandangannya mulai menuju ke arah lain dan kembali melanjutkan perkataannya, "Kamu bisa kembali memikirkan mengenai cinta, setelah kamu mendapat pekerjaan yang layak."

Mata Arga memanas seketika. Lantas dia menendang koper yang terletak tak jauh darinya dan berdiri sambil menggebrak meja. Emosinya berubah tidak stabil ketika papanya menyangkutkan masalah ini dengan hubungannya bersama Denisa.

"Urusan hubungan Arga dan Denisa, hanya boleh kami yang menentukan. Papa dan semua orang yang ada di muka bumi ini tidak berhak ikut campur. Karena yang paling tahu apa yang terbaik, ya kami sendiri," kata Arga yang mulai hilang kendali.

Papa Arga tersontak kaget mendengar ucapan kasar putranya. Kakinya langsung melangkah maju dan menatap Arga dengan tatapan menusuk. "Setelah menjadi seorang mahasiswa, ternyata pola pikir kamu masih belum terbentuk. Kamu masih seperti anak SMA yang tersulut emosi atas cintanya. Kamu pikir hubungan kalian hanya urusan kalian, hah? Hubungan kalian urusan papa juga!"

"Urusan papa?" ucap Arga. Kemudian Arga melemparkan tatapan miris kepada papanya. "Buat apa papa mengurusi hubungan percintaan Arga, kalau selama ini Papa tidak pernah benar-benar mengurusi mama? Bertahun-tahun Arga dan mama hidup berdua, menelan kecewa pada sosok Papa yang tidak bertanggungjawab. Sedangkan Papa tetap hidup bahagia bersama keluarga papa yang lain."

Tangan papa Arga langsung terkepal hebat mendengar ucapan Arga. Wajah Arga yang seakan menantangnya, membuat pria itu lepas kendali. Beliau hendak menjuruskan sebuah tamparan kepada Arga, tetapi berhasil ditahan oleh Arga.

"Papa 'kan seorang yang berpendidikan, tidak seharusnya dengan semudah itu memainkan tangan untuk hal yang tidak penting. Apalagi untuk memberi pelajaran kepada anak yang kurang ajar ini." Arga mulai menurunkan tangan papanya dengan perlahan. "Arga menghargai Papa sebagai orang tua Arga. Tapi, respek Arga sudah lama hilang. Jadi, jangan melakukan hal yang makin membuat Arga muak dan akhirnya tidak lagi melijat Papa sebagai sosok yang perlu dihargai."

Papa Arga bergeming. Ego yang sedari tadi menguasai dirinya, perlahan memudar ketika Arga menyindirnya secara halus. Beliau seakan tersadar pada sebuah janji yang sempat diucapkannya kepada Arga, yang tak dapat ditepatinya hingga sekarang.

"Arga pamit."

Mata papa Arga langsung membulat ketika Arga melangkah pergi meninggalkannya, tanoa memberitahu ke mana dia ingin pergi. Mulutnya seakan berteriak untuk menahan Arga, tetapi tidak dapat dilakukannya. Gengsinya membabat habis empatinya dan membuatnya terlihat tak berhati.

"Maafkan papa, Arga. Papa hanya ingin yang terbaik untuk kamu," ucap papa Arga, penuh sesal.

*****

Arga hanya dapat meninju pohon tak berdosa yang ditemuinya, demi meluapkan segala perasaan kesalnya. Tangannya yang memerah, sama sekali tidak dipedulikannya. Yang Arga inginkan hanya meluapkan segala emosi dan segera kembali pada keadaan normal. Karena letupan yang tidak diledakkan, akan semakin berkobar.

Denisa paham perasaan Arga saat ini. Permasalahan bersama papanya, buka sekali dua kali Arga alami. Sudah berkali-kali dan Denisa sedikit tahu tentang mereka. Tidak ada yang salah dari mereka berdua, tetapi sifat yang sama-sama egoislah yang membuat jalan pikiran keduanya tidak dapat bertemu.

Denisa khawatir dengan kesehatan mental Arga, dia ingin menyudahi perbuatan tidak baik yang sedang Arga lakukan. Namun, Denisa juga takut jika Arga tidak ada tempat untuk meluapkan semuanya, emosinya akan semakin menggebu-gebu. Denisa tidak ingin Arga dikuasai emosi seperti dulu.

"Arghhhhhhhhhh!"

Sebuah tinju yang begitu keras, ditujukan Arga kepada pohon yang beranting tajam. Denisa panik melihat tangan Arga yang mulai berdarah-darah. Dia sontak memeluk Arga dari belakang, sembari menahan tangan Arga agar tidak bisa digerakkan untuk memukul.

"Aku mohon stop, Bron. Jangan lakukan ini terus-menerus. Aku enggak bisa melihat kamu terluka," ucap Denisa dengan nada yang bergetar.

Arga bergeming di tempatnya. Air matanya mulai mengucur deras, lagi-lagi kelemahannya muncul ketika ada Denisa di dekatnya. Arga berusaha menghalau air mata itu agar tidak terus membanjiri pipinya. Namun, makin dia mencoba menepisnya, makin dia kalah.

"Aku harus apa supaya Papa menghargai aku sebagai manusia yang berhati, Sin? Aku lelah menjadi robot untuk Papa, yang harus fokus pada sebuah mimpi. Aku juga ingin merasakan hidup yang sesungguhnya, bukan penuh dengan keterpaksaan."

Denisa mengerti betapa hancurnya Arga saat ini. Hidup dengan setiran orang lain, sungguh menyiksa. Apalagi ketika kita tidak dapat berpendapat dan selalu dituntut pada hal yang tidak disukai. Denisa juga ingin Arga bahagia, seperti teman sebayanya. Hanya saja, Arga bukanlah mereka. Arga memiliki kewajiban yang perlu dipenuhi, demi masa depannya.

Denisa mulai melepaskan pelukannya dari Arga. Dia menarik tangan kanan Arga, yang membuat tubuh laki-laki itu berbalik. Denisa memberikan senyuman terbaiknya kepada Arga.

Arga dibuat meleleh oleh senyuman Denisa. Dari awal Arga mengenal Denisa hingga sampai sedekat ini, senyuman Denisa selalu mampu menjadi penawar untuk kegelisahannya. Senyuman Denisa adalah candu bagi Arga.

"Kita coba sama-sama, ya, Bron." Denisa mulai mengelus punggung tangan Arga untuk menguatkan laki-laki itu.

"Caranya?"

"Kita beri bukti ke papa kamu kalau hubungan kita tidak pernah membuat kamu oleng pada tujuan," ucap Denisa. "Kamu pasti punya 'kan hal yang menjadi pembeda semangat ketika hubungan kita baik-baik saja dengan ketika tidak baik-baik saja? Kita tunjukkan itu ke papa kamu. Karena aku tahu papa kamu bukan orang yang mudah percaya pada omong kosong."

Arga menimang ucapan Denisa. Sebenarnya dia tidak tahu bukti apa yang harus diberikan kepada papanya, pasalnya semua yang dilakukannya mengikuti alur yang ada. Namun, demi hubungannya bersama Denisa, Arga akan berusaha mencari bukti itu.

"Tapi, bagaimana kalau kita gagal?"

Denisa tertawa renyah. "Bukannya hidup penuh dengan kegagalan? Justru kesuksesan di awal adalah jebakan. Jadi, kalau kita gagal, ya tidak masalah. Kita bisa cari jalan keluar yang lebih baik dan membuat usaha kita kian kuat."

Arga tersenyum haru. Kini perjuangan yang pernah dilakukannya sewaktu SMA, akan terulang lagi. Bedanya, sekarang dia harus melakukannya dengan penuh kedewasaan, yang membuat papanya percaya pada ketulusan hati Arga dan Denisa. Meski hal ini berat, tetapi Arga merasa beruntung karena Denisa selalu ada di sisinya.

*****

—Semarang, 27 Oktober 2021—

Bangish (Badboy Nangish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang