[49] Hampir Terluka

39 3 14
                                    

"Aku ingin kita saling melepaskan, Arga. Bukan karena aku mengalah pada keadaan, tetapi masa depanmu lebih penting dari apa pun."

Arga menggelengkan kepalanya. Dia benar-benar tidak sanggup mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut Denisa. Berkali-kali Arga menampar dirinya sendiri, berbarap bahwa ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera menghilang ketika dia terbangun. Namun, dia makin merasakan sakit yang luar biasa ketika luka yang dideranya tidak hanya luka hati, tetapi juga luka fisik.

Sebuah cairan bening mulai mengucur deras di kelopak mata Arga. Matanya sembab dan memerah, serta tak hentinya menatap pasrah pada Denisa. Arga mulai mengambil tangan Denisa dan menciumi punggung tangan itu secara lembut.

"Bilang ke aku, Sin. Kamu lagi nge-prank aku, 'kan? Pasti kamu cuma bercandain aku dan mau tahu seberapa buruknya aku ketika kehilangan kamu. Iya, 'kan?"

Denisa hanya dapat menggelengkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Arga. Apa yang dikatakannya hari ini bukan bagian dari candaannya, bahkan terbesit pemikiran untuk mempermainkan Arga pun tidak ada. Keputusan yang Denisa ambil berdasarkan fakta yang ada. Dan dia tidak ingin menjadi seseorang yang egois dengan memaksa Arga untuk terus bersamanya.

"Pembohong! Kamu bilang ke aku kalau bakal memperjuangkan hubungan kita. Kamu akan mencoba berbagai cara agar kita tidak dipisahkan, meski jalannya tidak akan mudah. Lalu, mengapa kamu lakuin ini ke aku. Kamu mau membunuhku secara perlahan, iya?" Arga menutup telinganya rapat-rapat, seakan tidak ingin kalimat menyakitkan dari Denisa kembali meruntuhkan harapannya.

Arga sangat hancur dengan keputusan Denisa, Denisa pun merasakan hal yang sama. Tidak mudah baginya untuk melepaskan orang yang dicintainya, apalagi dalam keadaan cinta itu masih membara. Ditambah lagi dengan keadaan Arga yang begitu rapuh, membuat Denisa tidak kuasa menahan tangisnya.

Denisa langsung memeluk Arga. Dia mengusap punggung Arga, sembari meresapi perasaan sakit yang kini harus dideritanya bersama Arga. 

"Maaf," ucap Denisa kepada Arga. Dia menarik napas panjang-panjang, sekadar menetralisir perasaan sesak yang menjalar ke dadanya. Kemudian berkata, "Aku minta maaf untuk segalanya. Sikapku, hubungan kita, harapan yang telah pupus, dan keputusan untuk meninggalkan kamu. Kalau saja bukan masa depanmu yang dipertaruhkan, tentu aku masih mau berjuang. Namun, aku enggak mau egois. Mungkin melepaskan adalah hal terbaik untuk kita.

"Enggak!" Arga langsung melepaskan pelukan Denisa dan menjauhkan dirinya dari Denisa.

Arga mulai berjalan mendekati papanya, matanya menatap papamya dengan tajam. Kepalanya menggeleng lemah, seakan tidak habis pikir dengan perilaku papanya. Arga marah, kecewa, kesal, dan sakit hati atas apa yang dilakukan papanya kepadanya. Atas nama masa depan, papanya tega merampas pusat kebahagiaan Arga.

"Arga mohon, Pa, jangan lakukan ini. Papa boleh meminta atau merampas apa pun dari Arga, tetapi jangan memupuskan cintanya Arga. Selama ini Denisa menjadi alasan Arga untuk tetap semangat, dia yang membuat Arga dapat berpikir positif atas hal yang tidak Arga sukai. Kalau Denisa tidak ada di hidup Arga, Arga akan sangat hancur dan mati," kata Arga kepada papanya.

Raut wajah papa Arga, masih sama seperti sebelumnya. Datar dan angkuh. Bahkan beliau tidak menurunkan pandangannya ke Arga, yang membuat Arga merasa dihargai.

Arga stres dengan hati batu papanya. Napasnya berderu, menahan emosi yang mulai menguasai dirinya. Dengan tangan yang bergemetar, Arga mengambil ponsel dari sakunya dan menunjukkan sesuatu kepada papanya.

"Papa tolong lihat ini. Tiga yang teratas adalah nilai teoritis, ketika Arga harus benar-benar paham tentang materi yang dibawakan oleh dosen. Nilainya tidak begitu banyak karena Arga malas-malasan di kelas. Itu terjadi karena Arga yang selalu bermain-main dengan perkukiahan, tanpa mencoba untuk mendalami materi perkuliahan."

Bangish (Badboy Nangish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang