[50] Pantai yang Menjadi Saksi

35 4 6
                                    

Denisa menarik tangan Arga, mengajaknya untuk ikut bersamanya. Mereka berlarian di atas pasir putih, saling melemparkan tawa untuk menyuratkan kebahagiaan yang sedang mereka rasakan. Kaki yang tak lagi bersih, langsung tersapu ombak yang membuat Denisa histeris.

Tidak ada hari yang lebih membahagiakan dibanding hari ini. Bukan karena hari ini adalah hari yang istimewa, tetapi hari ini ialah momentum terbebasnya Arga dan Denisa dari belenggu yang selama ini mengusik hubungan keduanya.

Arga meletakkan tangannya di pinggang Denisa, lantas tersenyum simpul. Dia mengangkat tubuh Denisa dan memutarkannya hingga 360°. Denisa berteriak kegirangan.

"Apa kamu bahagia?" tanya Arga, setelah menurunkan tubuh Denisa.

Denisa membalasnya dengan melemparkan senyuman terbaiknya. "Jika aku tidak bahagia, sudah tentu kita tidak akan memasuki hari ini dengan tangan yang terus menggenggam." Tangan Denisa meraih bahu Arga dan berjalan pelan mendekati laki-laki itu. "Aku bahagia setiap ada kamu di hidupku. Aku sangat mencintaimu, Bron."

"Me too," kata Arga. "Aku juga sangat mencintai diriku sendiri."

Denisa langsung mendelik sebal. Dia membalikkan tubuhnya dan melipat tangannya di atas perut. "Kamu memang enggak sweet!"

Kaki mungil Denisa mulai berjalan ke tumpukan pasir, dia mendudukkan pantatnya di pasir tersebut. Arga yang melihat sikap kekanakan Denisa, hanya dapat mendesah lelah. Lantas dia menyusul perempuan yang dicintainya itu.

"Sorry," ucap Arga dengan menunjukkan wajah sesalnya. "Aku cuma godain kamu, Sin. Mana mungkin aku tidak mencintai kamu. Sejak dua tahun lalu sampai sekarang, cuma ada satu nama di hati aku. Denisa."

Sekuat tenaga Denisa menahan senyumannya agar dirinya tidak terlihat berbunga-bunga di depan Arga. Namun, bagaimana caranya menyembunyikan hal itu, mimiknya terlihat jelas bahwa dia sangat bahagia hari ini. Bersama Arga, dia merasa sangat hidup.

"Kamu inget enggak sih, Bron. Dulu kita memutuskan buat berpisah ketika di pantai, loh? Enggak takut emangnya kalau pantai membuat kita pisah lagi?" tanya Denisa.

Arga langsung menggeleng dengan tegas. Tangannya menyentuh tangan Denisa, sambil mengelus lembut tangan itu.

"Pantai tidak pernah salah, Sin. Dia hanya saksi dari sebuah cerita. Kalau ada yang mau disalahkan atas perpisahan kita, ya kitanya sendiri. Kita yang terkadang egois dan merasa hati kita yang paling tersakiti, sehingga hadirlah perpisahan itu. Dan aku mau, pantai tidak lagi menjadi saksi perpisahan kita, melainkan penyatuan kisah kita."

Arga merogoh sakunya, mengeluarkan sesuatu yang ingin diberikannya kepada Denisa. Dia menunjukkan sebuah kotak merah kepada Denisa lantas membukanya. Mata Denisa membulat seketika melihat apa yang ditunjukkan Arga kepadanya.

"Bron, ini ...."

Arga mengangguk mantap. "Aku tidak sabar menunggu hari pertunangan kita. Dan menurutku, prosesi pertunahan itu tidak terlalu penting. Aku ingin mengikatmu dengan cincin ini, meski perjuanganku untuk memilikimu masih jauh. Jadi, maukah kamu menerima cincin ini sebagai bukti penyatuan cinta kita. Serta maukah kamu selalu menjaga hatimu untukku, Denisa?"

Dari lubuk hati terdalamnya, Denisa ingin sekali menganggukkan kepalanya karena hidup bersama Arga merupakan impiannya. Namun, apakah semua tidak terlalu terburu-buru? Mereka baru saja berbaikan dan mungkin permasalahan kemarin bukanlah akhir dari segala permasalahan. Denisa takut kalau saat ini mereka hanya sedang terbawa oleh perasaan bahagia, sehingga kemungkinan untuk salah melangkah, akan terbuka lebar.

"Bron, apa kamu yakin dengan ini? Kamu enggak takut kalau kita hanya terbawa nafsu? Aku enggak mau kita terlalu buru-buru dalam memutuskan sesuatu."

Bangish (Badboy Nangish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang