Anthophobia ?

7 1 0
                                    

     Aku tak ingin berpikir tentang Asraf lagi, aku buru-buru berlari kerumah lalu kucari mbak Nani dengan segera dia adalah pembantu di rumah ku, tetapi kalau sore ia pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari komplek rumahku.

     Tanganku mengetuk pintu semakin keras meskipun rasanya linu tetapi hal itu tidak terpikirkan lagi olehku, dan lagi-lagi keadaan ini semakin mengesalkan karena mbak Nani tidak kunjung membukakan pintu, sudah bisa kutebak ia pasti sedang di tempat pencucian baju, dengan suara mesin cuci yang bising dan ditambah lagi suara ia bernyanyi, aku sudah sangat yakin dengan kebiasaan yang dia lakukan di jam sore ini.

     Akhirnya pintu rumah terbuka setelah kucoba menelphone mbak Nani berulang kali.

     “Maaf non..” Ucapnya ketika pintu belum terbuka semua.

     Aku menyambut dengan senyum lebar dengan gigi tampak terlihat, mbak Nani menatapku iba seolah dia mendalami apa yang ada didalam bola mataku yang tidak bisa berbohong ini.

     “Jalan-jalan yuk!” Ajaku dengan berusaha terlihat senang. Mbak Nani masih melihatku dengan tatapan yang sama.

    “Aku mau nyalin dulu, Mbak juga ya. Cepet, Okey!” kataku sekali lagi lalu berlalu meninggalkannya.
Beberapa menit kemudian kami bertemu lagi di ruang tengah.

     “Mbak senyum dong” pintaku saat kulihat raut ibu dua anak itu terlihat sangat lesu.

     “Ayo nona, keburu malem” pintanya.
“Siap mbak”

    Kami jalan-jalan ke Mall yang paling dekat dengan rumah, mbak Nani memilih buah-buahan yang ku sukai salah stunya Apel hijau, dan beberapa buah yang menjadi fovorite keluarga  kami, dan tidak ketinggalan pula aku mengizinkan dia membeli beberapa buah untuk anaknya yang masih SMA, aku melakukan semua itu juga atas izin Ayah dan Mamah.
Selagi Mbak Nani memilah segala hal untuk keperluan memasak, aku memutuskan untuk duduk dan menunggunya saja karena tiba-tiba kepalaku terasa sakit.

    Aku memikirkan perbuatanku lagi, berulang-ulang. Apa ini disebut melarikan diri atau aku selalu merasa berpikir positif dengan menghibur diri. Sesekali aku ingin menumpahkan air mataku dikeramaian tetapi hal ini selalu gagal, aku hanya melamun seperti orang bodoh di kursi sendirian.

     Meskipun tidak pantas untuk diceritakan tetapi beginilah realitasnya. Keluarga tidak selalu harmonis, semua orang tahu dalam berumah tangga selalu saja ada masa-masa sulit. Entah kenapa sejak tiga tahun terakhir ini Ayah dan Mamah kerap kali cekcok dirumah.

    Pernah sekali, saat mereka berdebat aku berusaha melerai namun berakhir terluka karena pecahan dari benda kaca yang mereka hancurkan, dan fatalnya pertengkaran mereka semakin serius karena mereka berpikir melibatkan aku dan membuatku terluka, saling menyalahkan, itulah sifat yang pertama kali muncul dalam keluarga kami.

     Semenjak kejadian itu, aku selalu menghindar ketika tahu mereka akan berdebat, dan Ayah selalu memberi rambu-rambu saat semua hal buruk seperti itu akan terjadi, ini bukan berarti keluarga kami bisa merencanakan hal-hal buruk untuk dilakukan, hanya saja Ayah berpikir bahwa saat ingin memecahkan masalah dengan Mamah selalu ada keburukan meskipun pada akhirnya mereka berbaikan, apapun itu aku takut kalau harus berada dirumah, bukan takut terkena kaca atau tersungkur ke lantai. Aku benci mendengar mereka menutup hatinya karena emosi terbakar.

     Tak kusadari air mataku jatuh juga aku cepat-cepat menghapus takut kalau ada yang melihat, aku menengok kulihat Mbak Nani belum selesai dengan belanjaannya kemudian aku kembali ke posisi semula dan betapa terkejutnya aku ketika seseorang mengagetiku dengan senyuman jahat di wajahnya.

     “Yaelah bisa nangis tah lu!” Teriak Catherine dengan nada cekikikan. Entah datang dari mana dia aku juga tidak menyadarinya.

    Aku tidak menjawab hanya membalas dengan raut mengejek.

Ini Kisah Tentang Cinta MonyetkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang